Gempa Sulteng
Kisah Wartawan Selamatkan Diri dari Gempa Tsunami Palu, Hanya Ada 2 Pilihan: Jalan Kiri Atau Kanan
Salah seorang wartawan Harian Surya (grup Tribunnews.com) bernama Alfred Lande menjadi korban amukan gempa dan tsunami yang terjadi di Palu
TRIBUNMANADO.CO.ID - Salah seorang wartawan Harian Surya (grup Tribunnews.com) bernama Alfred Lande menjadi korban amukan gempa dan tsunami yang terjadi di Palu, Jumat (28/9/2018).
Dalam tulisannya di akun Facebook @Alfred Lande, menyatakan bahwa 'terlambat lima detik saya jadi mayat'.
Ya. Alfred Lande ini berhasil menyelamatkan diri dari goncangan gempa dan terjangan tsunami.
Di awal tulisannya, ia menceritakan alasannya mengapa saat itu ia berada di Palu, Sulawesi Tengah.
Menurutnya, ia sedang menghadiri kegiatan yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilaksanakan di kota Palu, sejak 28 September hingga 1 Oktober 2018.
Para peserta kegiatan ini meliputi wilayah Indonesia Timur.
Selama mengikuti kegiatan tersebut, para peserta menginap di Hotel Swiss-Belhotel Palu yang terletak di bibir pantai Talise.
"Ketika terjadi gempa dahsyat yang melanda Kota Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018), saya berada di Kamar 227 Swiss-Belhotel Palu.
Hotel yang dikelola oleh Swiss-Belhotel Internasional ini merupakan hotel bintang 4 pertama di kota Palu. Hotel ini terletak di bibir pantai.
“Saat itu saya sekamar dengan pak Raimon Arumpone, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Morowali Utara," tulis Alfred Talise, Selasa (2/10/2018).
Pada hari pertama kegiatan tersebut berlangsung, sekira pukul 18.00 Wib, Alfred dan juga peserta lainnya pun sedang melakukan persiapan untuk liputan.
Baru saja selesai merapikan alat-alat untuk liputan, 3 menit kemudian tiba-tiba gempa bermagnitudo 7,4 SR itu mengguncang.
Getaran gempa ini rupanya cukup kuat, hingga menyebabkan peralatan jatuh berantakan bahkan listrik pun langsung mati total.
Sontak, para peserta termasuk Alfred pun langsung berlari mencari jalan untuk menyelamatkan diri keluar hotel.
Cerita Alfred, ia bersama teman-teman lainnya pun langsung keluar ruangan hotel dan menyusuri lorong-lorong hotel yang gelap gulita.
Rupanya, jarak antara ruangan hotel dan halaman depan hotel tak terlalu jauh.
Terbukti hanya dalam satu menit Alfred dan teman-temannya ini berhasil tiba di halaman hotel.
Rupanya, berhasil keluar dari bangunan hotel tak membuat mereka bisa bernapas lega.
Pasalnya, beberpa detik kemudian, terdengar teriakan orang-orang yang berkata "lari...lari...tsunami, cepat lari...."
Bersamaan dengan teriakan itu, gelombang besar tsunami sudah menanti di jalan raya depan hotel untuk menggulung Alfred dan teman-temannya.
Lantas, mereka pun kembali kalang kabut berusaha kembali untuk menyelamatkan diri.
"Seorang ibu yang tidak bisa lari sempat saya tarik beberapa meter," cerita Alfred Lande.
Alfred dan teman-temannya pun lantas melarikan diri menuju dataran tinggi Donggala Kodi, karena itu salah satu tempat yang aman guna menghindari tsunami.
Namun karena situasi panik, Alfred pun melihat orang-orang banyak memilih jalan ke kanan dan kiri hotel guna menyelamatkan diri.
Rupanya, beruntung Alfred memilih jalur kanan untuk menyelamatkan diri ke Dataran tinggi Donggala.
"Jika melihat hempasan gelombang tsunami saat itu, saya perkirakan cukup banyak yang menjadi korban jiwa terutama yang lari ke arah sebelah kiri hotel.
Bisa dibayangkan kontainer ukuran 40 feet saja bisa terlempar hingga puluhan meter," tutur Alfred Lande.
Alfred pun mengatakan jika saja ia memilih jalur kiri, mungkin nasibnya sudah seperti ratusan korban yang tewas bergelimpangan di tanah.
Pasalnya, guna memutuskan jalur yang dipilih yang menentukan keselamatannya, Alfred mengaku hanya diberikan waktu 5 detik saja.
"Jika saya terlambat lima detik saja atau berlari ke arah sebelah kiri hotel, mungkin nasib saya akan terjadi seperti ratusan korban yang bergelimpangan pagi itu.
Buktinya, pada Sabtu pagi, ditemukan ratusan jenasah sepanjang pinggir pantai dari Swissbel Hotel hingga Pantai Talise," tutur Albert lebih lanjut.
Melihat dan mengalami sendiri musibah gempa dan tsunami di Palu yang hampir menrenggut nyawanya, Alfred mengaku trauma jika harus kembali mengenang dan membayangkannya lagi.
Bahkan ia mengaku tak bisa melihat tayangan televisi yang memperlihatkan kantong jenazah.
Lebih lanjut, Alfred juga menjelaskan bahwa saat larikan diri untuk menyelamatkan diri, semua barang-barangnya tertinggal di hotel.
Ia sudah tak peduli dengan harta benda yang dibawanya ke Palu.
Yang terpenting adalah nyawa dan keselamatan hidupnya.
Bahkan ketika bergegas berlari mencari tempat yang aman dari terjangan tsunami, Alfred dan teman-temannya ini tak mengenakan alas kaki.
"Dalam pelarian menyelamatkan diri tersebut, semua barang-barang dan perlengkapan lainnya tertinggal di hotel. Saya dan pak Raimon lari dengan telanjang kaki dengan pakaian di badan.
“Kami tidak sempat lagi memakai sendal atau sepatu," tuturnya.
Derita belum berakhir. Saat pelarian tersebut, Alfred dan teman-temannya harus rela menginjak duri dan batuan-batuan tajam yang sudah berserakan di tanah.
"Jalan yang dilalui di tengah kegelapan malam itu penuh duri dan batu-batu tajam. Di sana sini kami harus melompat karena tanah terbelah akibat gempa," lanjutnya.
Ditambah dengan suasana gelap gulita yang mencekam karena semua aliran listrik terputus.
Alfred mengaku, kejadiannya itu begitu cepat dan mengerikan.
"Kejadiannya begitu cepat dan mengerikan. Rasanya hotel sudah mau ambruk detik itu. Apalagi begitu gempa terjadi, lampu listrik di hotel langsung padam," cerita Alfred.
Perjalanan untuk menyelamatkan diri ke tempat yang aman ini membutuhkan waktu 20 menit.
"Setelah sekitar 20 menit berjalan di sela rerumputan, kami tiba di jalan raya yang menuju ke gunung. Ratusan bahkan ribuan penduduk yang berusaha menyelamatkan diri berlari ke arah gunung Donggala Kodi," paparnya.
Sepanjang perjalanan, banyak warga yang terus menerus berseru menyebut nama Tuhan takut meminta agar Tuhan menyelamatkan mereka.
"Sambil berlari menyelamatkan diri, suara tangisan dan pengharapan kepada Sang Pencipta terus terdengar.
Ucapan “Allahu Akbar, Tuhan Yesus tolong kami, dan kata-kata penyerahan diri lainnya terus bergema sambil berlari,
Semuanya seperti tersadar begitu kecilnya keberadaan manusia dalam kondisi dan kekalutan seperti itu. Semakin malam, suasana semakin mencekam," tutur Alfred.
Usai dipastikan selamat, Alfred pun melihat banyak warga yang bernasib sama seperti dirinya.
Mereka juga hanya mengenakan pakaian seadanya tanpa alas kaki, yang penting bisa selamat.
Bahkan sebagian karyawan Swissbel Hotel terlihat masih dalam pakaian seragam resmi.
Meski begitu, menurut Alfred, sebagian besar pengungsi di perbukitan Donggala Kodi tanpa keluarga yang lengkap.
Rata-rata terpencar mencari keselamatan.
Begitu ada di ketinggian dan dinyatakan selamat, baru sadar bahwa anggota keluarganya ada yang tertinggal di bibir pantai.
Alfred pun langsung pergi ke Parigi, daerah perbatasan dengan Palu untuk lebih menyelamatkan diri takut kalau ada gempa susulan.
Tak hanya itu, tujuan Alfred ke Parigi ini adalah untuk mencari jaringan internet dan sinyal telepon agar ia bisa berkomunikasi dengan keluarga yang berada di Surabaya.
Pihak keluarga Alfred baru bisa mengetahui kabar Alfred yang selamat usai 3 hari pasca gempa, yakni pada Senin (1/10/2018).
"Saya kini berada di Parigi, daerah yang berbatasan dengan kota Palu.
Selain untuk mencari jaringan internet, juga untuk bisa berkomunikasi dengan anak-istri saya di Surabaya, keluarga serta kawan-kawan saya di berbagai penjuru.
Keluarga saya baru tahu kalau saya masih hidup setelah tiga hari peristiwa gempa.
Kami baru bisa berkomunikasi melalui saluran telepon setelah saya berada di Parigi," cerita Alfred.
"Catatan ini saya baru bisa buat setelah keluar dari kota Palu. Suasana dalam kota sangat menakutkan dan mencekam. Sejak gempa terjadi, listrik dalam kota Palu mati total. Hubungan komunikasi melalui telepon seluler (handphone) juga terputus. Selain itu gempa susulan masih terus terjadi. Perampokan dan penjarahan terjadi siang malam. Sungguh mengerikan."
"Artikel ini telah tayang di tribunnewsbogor.com dengan judul Cerita Wartawan Berjuang Lolos dari Gempa Tsunami Palu, Hanya Ada 2 Pilihan: Jalan Kiri Atau Kanan"