Ini Pemuka Agama Pertama yang Membaptis di Wilayah Sulut, Simak Kisahnya!
Pastor Diogo de Magelhaes SJ menjadi pemuka agama pertama yang membaptis di wilayah Sulawesi Utara (dulu belum ada provinsi).
Penulis: | Editor: Alexander Pattyranie
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Pastor Diogo de Magelhaes SJ menjadi pemuka agama pertama yang membaptis di wilayah Sulawesi Utara (dulu belum ada provinsi).
Pembaptisan itu bersama dengan pembaptisan Fransisco De Castro (25 tahun sebelumnya) juga menandai sentuhan kristiani pertama di wilayah ini.
Pastor Diogo Magelhaes bukan pembaptis pertama tapi menjadi pemuka agama pertama yang membaptis.
Pastor Petrus Tinangon, SS Lic His, Eccl, Dosen Sejarah Gereja STF-SP menyebutkan pertama pertama di Sulawesi Utara berdasarkan terbitnya seri buku Documenta Malucensia tahun 1974.
"Di sana disebutkan bahwa pada tahun 1538 sudah dilangsungkan pembaptisan di pantai Utara pulau Sulawesi. Pembaptis pertama bukan seorang pastor misionaris , melainkan seorang nakhoda kapal Portugis bernama Franscisco de Castro, yang atas perintah komandan benteng Ternate, Antonio Galvao melakukan ekspedisi atau penyelidikan ke daerah-daerah Papua, Sulawesi dan Mindanao," katanya.
Ia mengatakan faktum itu juga disebut dalam buku versi awal buku Historia das Moluccas karangan Antonio Galvao sendiri, komandan tahun 1536-1540 yang sangat disegani dan dihormati.
Buku kedua ini sebenarnya sudah diterbitkan lebih dulu, tahun 1971.
"Kedua buku tebal dan sangat berharga ini diterbitkan dan diberi catatan kritis oleh Hubert Jacobs SJ," katanya.
Pastor Albertus Sujoko, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng saat memberikan informasi soal Magelhaes mengambil sumber dari Frater Ludolf Bulkmans CMM, Misi Katolik di Keuskupan Manado dan Maluku Utara (disusun oleh Pastor Jan Van Paassen MSC di Wisma Transito, Desember 2011) .
"Di akhir Mei tahun 1563, armada Portugis berlabuh di Teluk Manado. Imam Yesuit yang ditunjuk menjadi pemimpin misi ini adalah Pastor Diogo de Magelhaes SJ yang baru ditahbiskan imam di Malaka dua tahun sebelumnya, yakni 1561. Akhir tahun 1561, ia sudah tiba di Ambon dan bekerja di sana. Kemudian ia (Magelhaes) pindah tugas ke Ternate dan dari Ternate ia mengunjungi Minahasa, pantai utara Sulawesi dan Kepulauan Sangir. Kemudian ia bekerja lagi di Halmahera dan Morotai," katanya.
Pastor Joko sapaan akrab Pastor Sujoko mengatakan Pastor Magelhaes akhirnya jatuh sakit dan kelelahan.
Ia dibawa kembali ke Goa di mana ia meninggal pada tahun 1573.
"Jadi ia (Pastor Magelhaes) menjadi imam hanya selama 12 tahun saja. Kalau ia ditahbiskan imam dalam usia 30 tahun, maka ia meninggal dalam usia 42 tahun saja" katanya.
Pastor Joko mengatakan dalam surat Magelhaes yang ditulis di Manado pada tanggal 28 Juli 1563, Magelhaes memberikan laporan kepada atasannya tentang pengalaman-pengalamannya di Sulawesi Utara (sekarang).
Dalam laporan itu antara lain disebutkan,
"Orang-orang Portugis diterima dengan senang hati di Manado. Semua orang minta dibaptis," katanya mengutip Magelhaes.
Pastor Joko mengatakan Magelhaes tinggal 14 hari di Manado untuk memberikan katakese dasar.
Sesudah itu ia membaptis raja Manado dan 1500 bawahannya.
"Menurut Hub. Jacobs dalam Dokumenta Malucentia halaman 63 dikatakan bulan Mei 1563 Pastor Diogo Magelhaes belayar ke Manado membaptis raja Manado, Siau, mengunjungi Bolaang, Kaidipan, dan Toli-toli. Gorontalo minta juga dibaptis. Magalhaes kembali ke Ternate bulan November dan ia membawa serta raja Manado untuk mengunjungi Ternate sampai bulan Mei tahun 1564," ujarnya.
Ia mengatakan saat Magelhaes di Manado, Raja Siau yang kebetulan waktu itu berada di Manado ikut dibaptis.
Sesudah itu Magelhaes melanjutkan pelayaran ke daerah Bolaang di pantai utara.
"Raja Bolaang juga minta dibaptis, namun Magelhaes belum melaksanakannya karena raja itu baru saja masuk Islam. Selanjutnya ia menuju Kaidipan dan ada 3000 penduduk di pantai meminta untuk dibaptis, namun Magelhaes hanya membaptis beberapa kepala suku saja," katanya.
Pastor Joko mengatakan Pastor Magelhaes tinggal 14 hari juga di Kaidipan dan membaptis 2.000 orang di sana.
Sekembalinya ke Manado, ia bermaksud mau menyeberang ke Siau, namun karena ia tergantung pada rute perjalanan kapal yang ditumpanginya, maka ia tidak bisa ke Siau.
"Magelhaes mempunyai harapan baik dari karya misi di Sulawesi Utara (sekarang), meskipun pendapatnya tentang suku bangsa di situ kurang positif. Namun ia berpendapat bahwa di Manado harus menjadi pusat misi dan dilayani oleh dua imam," tuturnya.
Pastor Joko menuturkan Pastor Magelhaes sadar bahwa membaptis saja tidak cukup.
Diperlukan pelajaran agama lebih baik.
"Magelhaes bekerja di Manado selama 20 bulan," ujarnya.
Pastor Tinangon mengatakan baptisan pertama oleh De Casteo itu terkesan hilang tanpa jejak.
Akan tetapi ternyata 25 tahun setelah itu ada baptisan massal tahun 1563 atas "raja" Manado yang diberi nama Jeronimo dan 1500 rakyatnya oleh Pater Diogo de Magelhaes.
Kesan tanpa jejak itu muncul karena terasa lebih sensasional jika pembaptisan itu dilakukan oleh misionaris.
Belakangan setelah itu, cara membaptis dengan jumlah banyak dirasakan sebagai cara kerja yang kurang bertanggung jawab.
Beberapa raja seperti raja Mongondow dan Gorontalo tidak jadi dibaptis.
Misi pun tidak bisa bergerak maju karena hadangan kaum Alifuru.
Puncak penghambatan itu terjadi setelah kaum Alifuru yang sudah membunuh 40 orang Spanyol meminta perlindungan Belanda.
Pembangunan Benteng Amsterdam tahun 1666 menandai akhir pengaruh Katolik di Sulawesi Utara.
Orang Katolik di Manado dan di tempat-tempat lain dijadikan Protestan.
Karena itu, tahun ini Gereja Katolik Keuskupan Manado selain merayakan 150 tahun Gereja Katolik masuk kembali, tumbuh dan berkembang kembali di wilayah Keuskupan Manado, Gereja Katolik Keuskupan Manado merayakan 480 tahun pembaptisan pertama dan 455 tahun pembaptisan pertama oleh seorang pastor.