Kode A dan B di Balik Suap DPRD Jambi: Uang Ketok Palu Sudah Tradisi
Sejumlah fakta baru terungkap dalam sidang lanjutan kasus suap dan gratifikasi Gubernur nonaktif Jambi Zumi Zola di Pengadilan Tindak
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Sejumlah fakta baru terungkap dalam sidang lanjutan kasus suap dan gratifikasi Gubernur nonaktif Jambi Zumi Zola di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, kemarin.
Saksi Kepala Sub Bagian Program Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) , Wahyudi Apdian Nizam mengungkap adanya kode khusus untuk distribusi dan penerima uang pelicin atau 'ketuk palu' dari pihak Pemprov Jambi kepada sembilan fraksi di DPRD Jambi. Uang itu diduga untuk mendapatkan persetujuan Rancangan APBD Provinsi Jambi Tahun 2017 dan 2018.
Hal itu terungkap saat jaksa KPK meminta Wahyudi menjelaskan adanya kode tertentu seperti disampaikannya dalam berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saat pemeriksaaan di KPK.
"Di BAP anda, ada 9 yaitu Demokrat 8a+1, Golkar 7a+1, Restorasi Nurani 7b, PKB 6a, PDIP 6b+1, Gerindra 5a+1, PPP 4b, PAN 4a, Bidang Keadilan 3b+1*, disebut A sama dengan 30 dan B sama dengan 20. Bisa terangkan kode A dan B? ," pinta jaksa.
Wahyudi menceritakan, sebelum adanya pembagian uang untuk sembilan fraksi di DPRD Jambi, telah ada kesepakatan antara Asisten Daerah Bidang III Provinsi Jambi, Saifudin dan Pelaksana tugas Kepala Dinas PUPR, Arfan. Dan dirinya turut dalam pembagian uang itu serta bertugas mencatat penerima aliran dananya.
Saat itu, kode A dimaksudkan pembagian uang dilakukan oleh Asisten Daerah Bidang III Provinsi Jambi, Saifudin. Sementara B merupakan jatah tugas dirinya untuk membagikan dana tersebut. "Jadi kode A dan B, A harus didistribusikan Saifudin dan B, kami yang bagikan. Itu kesepakatan Pak Arfan dan Saifudin. A=30, B=30, artinya 20 orang x Rp 100 juta," ungkap Wahyudi.
Adapun kode plus 1 di belakang, lanjut Wahyudi, adalah kode untuk jatah jumlah pimpinan fraksinya. "Demokrat 8a+1 artinya ada 8 anggota yang distribusi dan satu unsur pimpinan yang dibagikan Pak Saifudin," ungkapnya.
Wahyudi juga dicecar mengenai jumlah anggota DPRD Jambi. Jaksa ingin mengetahui Wahyudi mendapatkan data komposisi jumlah anggota DPRD Jambi. Namun, Wahyudi tidak bisa menjelaskan lebih jauh dengan alasan Saifudin yang lebih mengetahui komposisi anggota DPRD Jambi.
Selain Wahyudi, saksi dari Dinas PUPR Jambi lainnya juga dihadirkan oleh jaksa KPK. Mereka adalah Alva Yudi, Nusa Suryadi dan Denny Ivan.
Selain itu, tiga anggota DPRD Jambi penerima uang juga dihadirkan sebagai saksi. Ketiganya adalah M Juber, Ismed Kahar, Mayloeddin dan Popriyanto.
Dalam kesaksiannya, mereka kompak mengakui menerima uang suap 'ketok palu' RAPBD Provinsi Jambi tahun 2018 dari Zumi Zola. Beberapa dari mereka, ada yang sudah mengembalikan ke KPK.
"Saya sudah kembalikan ke KPK, waktu itu dihitung dari Rp 700 juta kurang Rp 200 ribu. Sudah dikembalikan Rp 185 juta ke KPK," kata Ismed Kahar, anggota DPRD Jambi dari Fraksi Golkar.
Rekan satu fraksi Ismed Kahar, Popriyanto juga mengaku telah mengembalikan uang Rp 175 juta ke KPK pada 2017.
Sementara itu, anggota DPRD Jambi, Mayloeddin menyatakan belum mengembalikan uang ke KPK. Dalam sidang, dia mengaku baru tahu ada anggota dewan mengembalikan uang. "Saya tidak tahu mereka kembalikan, saya tahu pas di sidang ini," ucap Mayloeddin.
"Kalau semua kembalikan, insya Allah," jawab Mayloeddin lagi ketika ditanya jaksa KPK apakah akan mengembalikan uang atau tidak.
Pada Rabu lalu, saat bersaksi dalam sidang perkara yang sama dengan Supriyono, Ismet Kahar dan Mayloeddin mengaku mengambil uang itu dari rumah M Juber. "Uangnya dalam bentuk bingkisan plastik, tapi nampak isinya uang," singkat Ismed Kahar.
Ia melanjutkan, bingkisan miliknya berisi uang Rp 99 juta dari total Rp 100 juta yang dijanjikan. Uang dipotong 1 juta untuk kurir.
Sementara Poprianto juga menerima uang ketok palu Rp 88 juta. Bahkan diungkap Poprianto uang ketok palu di DPRD Jambi sudah menjadi tradisi.
Zumi Zola saat mendapat kesempatan bicara mengaku ditekan sehingga sampai mengeluarkan uang ketok palu untuk pengesahan rancangan APBD sejak tahun 2016. Hal ini diketahuinya dari anak buahnya Apif Firmansyah dan Dodi Irawan.
"Ketika saya jadi gubernur 2016 ada tekanan yang diberikan terkait ketuk palu, memang Apif dan Dodi (Kadis PUPR Jambi) menyampaikan ke saya," ujar Zumi dalam persidangan.
Anggota dewan dalam persidangan mengaku menerima uang ketuk palu terkait pengesahan APBD Pemprov Jambi. Uang tersebut diberikan oleh anak buah Zumi Zola. "Mungkin saja beliau juga tidak tahu karena tidak ada kontak dengan saya," ujar Zumi.
Zumi menyampaikan terima kasih kepada para anggota DPRD Jambi yang telah memberikan kesaksian di pengadilan. Sebab, banyak fakta yang baru diketahuinya dari kesaksian-kesaksian itu.
"Saya ucapkan terima kasih yang sudah berikan fakta di sidang dan anggota dewan dari fraksi Golkar dari info yang diberikan ketuk palu ada sepengetahuan saya sejak 2016, saya tidak menyampaikan fitnah memang fakta dan perlu disampaikan di sini," ujarnya.
Zumi zola didakwa menerima gratifikasi Rp 44 miliar dan satu unit mobil tipe Alphard. Uang tersebut turut mengalir ke adiknya, Zumi Laza yang maju sebagai Wali Kota Jambi.
Dalam dakwaan, Zumi Zola meminta Apif Firmansyah mencari sejumlah dana segar guna melunasi utang-utangnya ketika melakukan kampanye sebagai Gubernur Jambi.
Selain itu, Zumi Zola juga didakwa memberikan suap Rp 16,5 miliar kepada 53 anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019. Uang sebanyak itu diduga agar para anggota DPRD menyetujui pengajuan Raperda APBD Tahun 2017 dan 2018 menjadi perda APBD Tahun 2017 dan APBD 2018. Uang tersebut dikenal sebagai 'uang ketok palu'.
Zumi melakukan suap tersebut bersama-sama dengan Plt Sekda Pemda Provinsi Jambi, Apif Firmansyah, Erwan Malik, Plt Kadis PUPR Arfan dan Asisten III Sekretariat Daerah Provinsi Jambi, Saipudin.
Uang Ketok Palu Sudah Tradisi
saksi Mayloeddin, anggota DPRD Jambi mengungkap uang ketok palu pengesahan RAPBD 2017 dan 2018, bukan kali pertama terjadi.
Menurutnya, uang ketok palu yang diterima oleh anggota dewan terjadi sejak 2009. Pengakuan yang sama ini sudah disampaikan Mayloeddin di sidang untuk terdakwa lainnya di Pengadilan Tipikor Jambi.
"Sepengetahuan saya selama 9 tahun di DPRD, tahun 2018 ini yang krusial. Dari 2009 sudah begitu, nggak ada masalah," ujar Mayloeddin, Senin (17/9/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta saat bersaksi untuk terdakwa Zumi Zola, Gubernur nonaktif Jambi.
Di hadapan majelis hakim, Mayloeddin mengaku menerima Rp 200 juta tapi dia tidak mengetahui pasti asal usul uang.
Dalam berita Acara Pemeriksaan, Mayloeddin mengaku menerima uang dari Zumi Zola melalui Ketua Badppeda Saifuddin.
"Saya gak tanyakan itu (asal usul uang). Itu sudah seperti air mengalir, tenang. Badai ini di 2018," ungkapnya.
Anggota DRPD Jambi dari Fraksi Golkar, M Juber, dalam kesaksiannya juga mengungkapkan, penerimaan uang dari pihak Pemprov Jambi terkait persetujuan pengajuan APBD. Uang itu disebut sebagai uang ketok palu. "Uang ketok ini sudah tradisi," kata Juber kepada jaksa KPK.
Menurut Juber, siapa pun gubernurnya, anggota Dewan akan meminta uang ketok kepada pihak eksekutif. Uang tersebut diberikan agar anggota DPRD menyetujui permintaan anggaran yang diusulkan pihak Pemrov Jambi.
Rekan satu fraksi M Juber, Mayloedin, juga menyampaikan hal serupa. Menurut dia, uan 'ketok palu' di kalangan DPRD Jambi sudah terjadi sejak 2009.
Namun, selama ini uang suap tersebut tidak pernah menimbulkan persoalan. Masalah baru terjadi saat KPK menggelar operasi tangkap tangan di Jambi pada 2017. "Itu (uang ketok palu) seperti air mengalir, tenang. Badai ini baru muncul di 2018," kata Mayloedin.
Mayloeddin mengaku menerima uang itu Rp 200 juta. Namun, dia tidak mengetahui asal-usul uang yang diterimanya. "Saya nggak tanyakan itu. Itu seperti air mengalir, tenang. Badai ini di 2018," ujar Mayloeddin.
"Kayak Bengawan Solo saja," timpal majelis ketua majelis hakim Yanto. (tribun)