Mengenal Sosok AA Maramis, Pendiri Bangsa dan Suara Kaum Minoritas dari Timur
AA Maramis adalah salah seorang founding father atau pendiri bangsa Indonesia. Ia menjadi anggota BPUPKI, panitia 9.
Penulis: Finneke | Editor: Siti Nurjanah
Laporan Wartawan Tribun Manado, Finneke Wolajan
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Jalan dua arah menuju Bandara Sam Ratulangi Manado bernama jalan AA Maramis. Dari arah yang sama, di sisi kiri jalan ada sebuah monumen setengah badan, seisi monumen itu berwarna hijau. Monumen itu adalah AA Maramis, yang diresmikan pada 15 November 1985 oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan waktu itu, Surono.
Siapakah gerangan Alexander Andries Maramis ini? Banyak masyarakat Sulawesi Utara rupanya tak tahu siapa sosok yang satu ini.
AA Maramis, putra asli Minahasa, kelahiran 20 Juni 1897 di Desa Paniki Bawah. Dulunya desa ini masih masuk daerah administratif Minahasa, sebelum otonomi daerah dan menjadi bagian dari Kota Manado. AA Maramis adalah salah seorang founding father atau pendiri bangsa Indonesia. Ia menjadi anggota BPUPKI, panitia 9.
Selain itu, dari catatan sejarah, 20 prestasi menonjol AA Maramis, selain founding father yakni menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Menteri Negara dan Wakil Menteri Keuangan, 19 Agustus 1945 - 25 September 1945 Menteri Keuangan, Menteri Keuangan ke-1 (presidentil), Menteri Keuangan Kabinet A Syarifudin ke-1, Menteri Keuangan Kabinet A Syarifudin ke-2, Menteri Keuangan Kabinet Presidentil ke-11 (Moh Hatta).
Wakil Ketua PMI Januari 1947, Pimpinan Delegasi Indonesia ke Konferensi Asia di New Delhi (20-23 Januari 1949), Pendiri Pemerintahan RI dalam pengasingan (in exile) di India, Menlu Pemerintahan Darutat RI, Dubes Istimewa pengawas semua semua perwakilan RI d luar negeri, Penasehat Konferensi Meja Bundar di Belanda, Dubes Jerman Barat, Kepala Direktorat Asia Pasifik Deparlu, Dubes di Moskow dan Finlandia, Anggota Panitia 5 Kesatuan Tafsir Pancasila saat usia 78 tahun.
AA Maramis kecil menamatkan pendidikan dasarnya pada tahun 1911 di sebuah sekolah elit Belanda di Manado, yakni Europeesche Lagere School (ELS). Sekolah tersebut terletak di pusat Kota Manado, yang sekarang menjadi SD N 4 Manado. Selesai menamatkan pendidikan dasarnya, keluarga berembuk untuk menyekolahkan AA Maramis ke pendidikan sekolah yang lebih tinggi di Batavia yakni Hogere Burger School (HBS) , mengingat saat itu Manado hanya salah satu wilayah keresidenen Ternate.
Pada tahun 1918 keluarga lalu mengirim AA Maramis ke HBS di Jalan Matraman.
Sejak bersekolah di Batavia, Maramis bertemua dengan teman-teman sebangsanya dari daerah berbeda. Di antanya Achmad Soebardjo dan Datuk Natsir Pamuntjak. Ketiganya yang dari Sulawesi, Jawa dan Sumatera lalu melanjutkan sekolah di Universitas Leiden Belanda. Ketiganya mendapat beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda sekana enam tahun. Mereka yang studi di Ilmu Hukum harus menguasai bahasa Yunani dan Latin.
Semasa kuliah AA Maramis bertemu pemuda dari seluruh Indonesia yang kuliah di kampus yang sama. Pertemuan itu mengubah pandangan politiknya. Dari pengamatannya ada kelompok pemuda Islam yang dipengaruhi organisasi Sarekat Islam yang di Indonesia berkembang menjadi kekuatan anti kolonial. Begitu pula pemuda beraliran sosialis yang telah mendapat pendidikan Marxisme Leninisme mereka berafiliasi dengan sarekat pekerja untuk memerangi imperialisme. AA Maramis dikenal mahasiswa cerdas.
Pada Juni 1924 AA Maramis berhasil menyelesaikan studi dan mendapat gelar Meester in de Rechten atau ahli hukum. Zaman itu tak banyak orang yang mendapat gelar tersebut. AA Maramis kembali ke tanah air pada Juli 1924.
Ia mendapat tawaran pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi pegawai mereka, namun AA Maramis menolaknya AA Maramis memilih menjadi pengacara bagi rakyat Indonesia yang kurang mampu. Dari sinilah perjuangan AA Maramis bagi bangsa dan negara dimulai.
Dalam dokumen pribadi keluarga AA Maramis, yakni melalui ahli warisnya Lody Rudy Pandean, menyebut AA Maramis termasuk dalam perumusan UUD 1945 dan ia adalah satu-satunya wakil dari kaum minoritas Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Juga wakil daerah Kalimantan dan Indonesia Timur di Panitia 9 BPUPKI, bersama Johannes Latuharhary dari Ambon. Ia satu-satunya orang Kristen dari 8 orang lain yang nasionalis-Islam (Abikusno, Agus Salim, Kahar Muzakkir, dan Wahid Hasyim) maupun nasionalis-sekuler (Hatta, Sukarno, Soebardjo, dan Yamin).
AA Maramis yang lulus dari Fakultas Hukum di Leiden Belanda tahun 1924, memperjuangkan pluralisme dan Hak Asasi Manusia dalam dasar-dasar negara NKRI dan meminta peranakan Tionghoa, Arab dan Indonesia yang berkedudukan hukum Nederlansch Onderdaan diberikan kewenangan kewarganegaraaan Indonesia (Moh Yamin, 1960:356).
AA Maramis seorang Kristen yang berasal dari Sulawesi dan mewakili kaum minoritas, perannya di BPUPKI sangat besar dalam upaya mempersatukan kemajemukan bangsa.
Sebagai seorang revolusioner Maramis memiliki pemikiran yang brilian, wawasannya luas serta nilai perjuangannya untuk memerdekakan bangsa Indonesia sangat besar.
Sikap kompromi dan pluralismenya AA Maramis demi kepentingan bangsa dan kemerdekaan Indonesia teruji di atas segala-galanya.
Kiprah AA Maramis di dunia internasional di antaranya konferensi New Delhi 20-23 Januari 1949. Ia yang saat itu sebagai Menteri Luar Negeri memimpin delegasi dari Indonesia.
Perjuangan delegasi Indonesia di konferensi ini menjadi catatan penting bagi sejarah Indonesia. Karena menyangkut pengakuan dunia internasional terhadap kedaulatan negara Republik Indonesia. Hal ini yang menjadi harapan berjuta-juta rakyat Indonesia saat itu.
Anggota delegasi lainnya yakni wakil RI di Singapura, Mr Utoyo, wakil RI di India Dr Sudarsono, wakil RI di Mesir HA Rasyidi dan wakil dagang RI di Amerika Serikat Sumitro Djoyohadikusumo.
Setelah Konferensi New Delhi usai, AA Maramis langsung menuju PBB bersama Lambertus Nicodemus Palar yang ditunjuk sebagai juru bicara delegasi Indonesia di PBB bersama Sudarpo, Sudjadmiko dan Sumitro.
Sebagai juru bicara, LN Palar melaporkan secara resmi tentang pengakuan kedaulatan Indonesia dan hasil Konferensi New Delhi 1949 yang diperjuangkan AA Maramis. Satu tahun kemudian membuahkan hasil, pada 28 September 1950 Indonesia diakui sebagai negara yang berdaulat dan menjadi anggota resmi Perserikatan Bangsa-bangsa ke-60 dengan status anggota penuh.
“Saat Konferensi New Delhi itu, katanya AA Maramis berperilaku seperti naga. Saya mendengar itu saat penghargaan MURI tahun 2017 dari seorang wartawan senior yang hadir pada saat itu. Ia menyebut itu dalam Bahasa Belanda yang artinya itu. Penghargaan MURI ini untuk AA Maramis sebagai Menkeu pertama yang menandatangani 15 mata uang RI,” kata Lody Rudy Pandean, Sabtu (11/8).
Setelah hampir 20 tahun tinggal di luar Indonesia, AA Maramis menyatakan keinginannya untuk kembali ke Indonesia. Pemerintah Indonesia mengatur agar ia bisa kembali dan pada tanggal 27 Juni 1976 ia tiba di Jakarta. Di antara para penyambut di bandara adalah teman-teman lamanya Soebardjo dan Mononutu, dan juga Rahmi Hatta (istri Mohammad Hatta).
Pada bulan Mei 1977, ia dirawat di rumah sakit setelah mengalami perdarahan. Maramis meninggal dunia pada tanggal 31 Juli 1977 di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, hanya 13 bulan setelah ia kembali ke Indonesia. Jenazahnya disemayamkan di Ruang Pancasila Departemen Luar Negeri dan dilanjutkan dengan upacara militer dan kemudian pemakaman di Taman Makam Pahlawan Kalibata.