Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Calon Senator Mundur dari Ketum PDS: Meiva Segera Tinggalkan Golkar

Mantan Ketua Umum Partai Damai Sejahtera (PDS), Denny Tewu, mengaku tidak aktif lagi di partai politik. Tewu sudah

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO/RYO NOOR
Denny Tewu 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – Mantan Ketua Umum Partai Damai Sejahtera (PDS), Denny Tewu, mengaku tidak aktif lagi di partai politik. Tewu sudah mundur dari Ketuam PDS sejak dua tahun silam. Kini ia membidik kursi senator atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Denny satu di antara 25 figur calon senator yang disoroti publik menyusul keluarnya keputusan Mahkamah Konsitusi soal anggota parpol tak bisa ikut pemilu DPD RI kecuali mundur dari kepengurusan.

Denny membantah ia pengurus parpol. Ia mengakui dulu pernah menjabat sekretaris umum, wakil ketua umum dan Ketum PDS. "Kira -kira sudah setahun atau dua tahun tidak aktif lagi di PDS.

Surat keputusan (SK) Kementerian Hukum dan HAM (Menkum-HAM) juga sudah tidak aktif di PDS. Anggota partai lain pun tidak," kata dia kepada tribunmanado.co.id, Selasa (24/7/2018).

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Utara melayani perbaikan hingga hari terakhir Selasa (24/7/2018) tengah malam.
Di hari terakhir ini, Denny sudah mengajukan perbaikan.

"Sudah saya lengkapi cuma dua poin soal dokumen bersedia dipublikasi dan perbedaan nama di ijazah. Harusnya Denny tertulis Danny," ujar komisaris utama di sebuah perusahaan asuransi ini.

Akibat salah nama di ijazah itu, Denny harus ke Surabaya untuk meminta surat keterangan. "Ini baru kembali dari Surabaya," ujar dia.

Namun Denny tak ada kendala di syarat dukungan minimal 2000 KTP. Ia sudah lolos verifikasi faktual hingga tak butuh perbaikan lagi.
I yakin bisa menang di pemilihan Senator.

Pengalamannya lalu di Pemilu 2009 ke DPR RI, PDS berhasil meraih 187 ribu suara. Tapi sayang di pusat tak lolos parliamentary treshold secara nasional. "Kebetulan masih banyak konstituen yang kenal," kata dia.

Ia berpesan kepada masyarakat agar pemilu dijadilan layaknya pesta, harus bersenang-senang. "Kalau Sulut aman, sudah dewasa sehingga tidak ribut-ribut," ujarnya.

Kristovotus Deky Palinggi, Anggota DPRD Sulut dari Fraksi Golkar yang maju calon senator ikut disorot. Ia legislator dari Daerah Pemilihan Minahasa Selatan dan Minahasa Tenggara.

Soal keputusan MK, kata KDP, menyebut yang jadi objek, yakni pengurus parpol, ia bukan pengurus parpol. "Iya kalau pengurus (Golkar), saya bukan pengurus," ujar mantan anggota Polri ini.

Meski begitu, KDP masih akan mempelajari lebih detail soal keputusan MK. "Nanti saya akan baca lagi, karena harus mengerti betul aturan ini," ujar dia.
Figur lainnya, Meiva Salindeho yang merupakan kader Golkar. Sementera dari PDIP ada Pricilya Rondo, Wakil Ketua DPD PDIP Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

"Kita sudah tanya KPU. KPU tinggal menunggu lampiran keputusan itu," ujar mantan Ketua DPRD Sulut ini. "Dan kalau memang itu keputusan maka saya harus mengundurkan diri," kata Meiva.

Namun ketika ditanya soal peluang bakal di PAW partai jika mengundurkan diri, Meiva enggan menjawab. "Nanti ya kita masih di duka," ungkap Meiva di balik sambungan telepon.

Djafar Alkatiri, bakal calon DPD RI menolak mengajukan pengunduran diri sebagai pengurus parpol. Djafar adalah kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ia punya pemahaman sendiri soal pengunduran diri dari pengurus parpol. Menurut Djafar, hal itu hanya berlaku bagi partai peserta pemilu.

Ia sendiri merupakan pengurus PPP versi Djan Faridz. Baginya yang harus mengundurkan diri harusnya PPP versi Romahurmuziy dan partai lain peserta pemilu. "Kan PPP Djan Faridz tak ada SK Mekumham," ujarnya.

Di PPP versi Djan Faridz, Djafar mengaku sebagai pengurus menjabat Ketua DPW PPP Sulut. Alasan bukan peserta pemilu, Djafar meyakinkan hal itu tak perlu ia lakukan.

"Kalau kami yang sah, saya tidak ikut DPD tapi ikut pileg. Tapi karena tidak sah jadi ikut Senator," ungkapnya.
Bagi anggota parpol yang sudah mengajukan diri sebagai calon DPD harus mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai pengurus parpol.

Ketentuan itu sebagaimana putusan MK No. 30/PUU-XVI-/2018, Senin (23/7/2018). Terkait putusan MK, KPU Sulut sudah mengetahuinya. "Kami menunggu instruksi KPU RI," ujar Ardiles Mewoh, Ketua KPU Sulut, Senin (23/7/2018).

Senada disampaikan Komisioner KPU Sulut, Meidy Tinangon. "Sudah ada putusan MK, tapi teknis tindak lanjut putusan MK menunggu surat KPU RI," ujar Meidy.

Calon Lengkapi Dukungan KTP

Dari 25 bakal calon senator atau DPD RI dari Sulut, baru enam orang yang memenuhi syarat dukungan minimal 2.000 KTP. Sebanyak 19 nama lainnya masih harus melakukan perbaikan dukungan dan syarat calon.

Ketua KPU Sulut, Ardiles Mewoh, mengatakan, KPU mulai Selasa (24/7/2018) sudah menetapkan jadwal penyerahan dokumen perbaikan dukungan dan syarat calon.

KPU akan melayani para anggota DPD selama 4 hari hingga Jumat pekan ini. Tiga hari pertama KPU akan melayani hingga pukul 16.00 Wita. Di hari terakhir akan dilayani hingga pukul 24.00.

"Hal terkait mekanisme penyerahan dokumen dan syarat calon dapat ditanyakan di help desk Sistem Informasi Perseorangan Pemilu (SIPPP) dan Sistem Informasi Pencalonan (Silon) pada jam kerja," ujar Ketua KPU Sulut.

Perbaikan dukungan ini merupakan syarat untuk maju di DPD, minimal harus memenuhi 2.000 dukungan KTP yang tersebar di kabupaten dan kota di Sulut.

Saat verifikasi faktual dukungan KTP dengan metode sampling, baru enam bakal calon yang lolos, yakni Stefanus BAN Liow, Ramoy Luntungan, Pricilya Rondo, Syahrial Damapolii, Denny Tewu dan Philoteus Tuerah.

Namun Syahrial Damapolii sudah terlempar dari persaingan karena saat verifikasi dokumen pendaftaran dinyatakan tidak memenuhi syarat karena pernah dipidana kasus korupsi.

Merusak Sistem Legislatif Dua Kamar

Implikasi keputusan MK ini menyerempet anggota parpol yang duduk sebagai wakil rakyat. Jika mundur dari parpol, kedua bakal calon ini terancam pergantian antar waktu (PAW) padahal masih ada setahun lagi para legislator ini menjabat sebagai wakil rakyat dengan gaji sekitar Rp 50 juta per bulan.

Tentu bagi anggota parpol biasa tidak akan sulit memenuhi ketentuan ini, namun demikian akan menjadi sulit bagi pengurus parpol yang kini menjadi anggota DPRD.

Sesuai ketentuan UU 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dan UU 17 tahun 2014 tentang UU MD3 menyatakan anggota DPRD dapat dilakukan PAW jika diberhentikan sebagai anggota parpol.

Jadi jika ada anggota DPRD yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD secara otomatis akan mengunggurkan yang bersangkutan sebagai anggota DPRD.

Kemungkinan besar, dugaan saya akan ada anggota DPRD yang jadi calon DPD akan menarik kembali pencalonannya di DPD pasca putusan MK.

Sepakat dengan putusan MK, mengapa? Pertama, terjadi ketidakadilan dalam kompetisi. Calon DPD yang berasal dari parpol akan diuntungkan dengan kelembagaan parpol yang kuat dalam membantu kampanye. Sementara calon independen tidak memiliki kelembagaan seperti itu. Ia harus berjuang sendiri.

Kedua, pengurus parpol yang menjadi anggota DPD merusak sistem legislatif dua kamar (bikameral) yang selama ini kita anut.
Ketiga, tidak elok jika disebut pengurus parpol yang berkompetisi di DPD merupakan kader buangan dari parpol karena ketidakmampuan berjuang dengan pengurus parpol lainnya.

Keempat, pembagian kewenangan antara keduanya sebagai wakil parpol dan wakil daerah di parlemen akan makin kabur. Putusan MK ini tentu akan menganulir peraturan KPU nomor 14 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPD. (ryo)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved