Kisah Kepsek Jemput Siswa di Rumah Belajar di Pinggir Pantai Malalayang, Sekolahnya Terancam Ditutup
Di saat sejumlah sekolah favorit kelebihan siswa, beberapa sekolah ini justru kekurangan siswa.
Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Alexander Pattyranie
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Di saat sejumlah sekolah favorit kelebihan siswa, beberapa sekolah ini justru kekurangan siswa.
Bayang - bayang penutupan sekolah pun menghantui.
Sebuah spanduk kecil berukuran empat kali dua meter berisi pemberitahuan penerimaan siswa baru terpasang di tembok SMP/SMA PGRI Malalayang.
Jika saja tak ada spanduk itu, mungkin warga akan mengira itu sebuah rumah tua.
Bentuknya yang kuno dibalut dinding kusam.
Hanya ada satu ruangan berukuran 20 kali 10 meter yang jadi tempat belajar siswa SMP dan SMA.
Ruangan itu dibagi tiga kelas, masing - masing untuk siswa kelas 7, 8 dan 9.
Cara belajar, siswa SMP pagi, sedang siswa SMA siang hari.
Ketiga kelas itu dilapisi sekat.

Tiap ruang kelas yang lebarnya tak lebih dari enam meter itu diisi meja lapuk dan kursi plastik.
Perabotan kelas itu hanyalah sebuah meja lapuk dan lemari tua berisi buku - buku yang berdebu.
Lantai salah satu ruangan berlubang.
Nampak bagian seng berlapis lapis seperti telah dipasang berkali - kali untuk mencegah hujan.
Saat Tribun datang, seorang guru tengah duduk menanti murid.
Sang Kepsek Sumiati Katiandagho yang duduk tak jauh dari sang guru sibuk menangkap rayap.
"Banyak sekali rayap disini," kata dia.
Sumiati membeber, siswa yang mendaftar sejauh ini baru beberapa.
Dirinya sengaja pulang larut demi menanti datangnya siswa.
Perkara siswa baru memang sangat penting bagi sekolah ini.
Ada 20 siswa kelas 9 yang sudah lulus hingga tersisa 50 siswa.
"Syaratnya di bawah 60 siswa sekolah tutup," beber dia.
Ia membeber tidak mudah mencari siswa baru.
Siswa disitu umumnya adalah anak orang miskin.
"Saya harus panggil mereka di rumah, yakinkan orangtua agar bisa sekolah," kata dia.
Dikatakannya, problem utama sekolah itu adalah ruangan.
Ruangan yang ditempati adalah bekas kantor Lurah Minanga.
Sang Lurah berbaik hati meminjamkan ruangan itu.
"Tanahnya milik Pemprov sementara gedungnya milik Pemkot," beber dia.
Belajar di tempat sesempit itu sungguh tak nyaman.
Siswa harus berbagi tempat duduk akibat tempat duduk terbatas.
"Sebelum seng diperbaiki ruang kelas selalu diguyur hujan," ujar dia.
Untung dia punya seribu akal.
Kerap kali siswa diajaknya belajar di tepi pantai yang hanya selemparan batu dari sekolah.
Mirip metode belajar laskar pelangi.
"Cara itu ampuh, banyak anak lebih bisa berkonsentrasi dengan belajar di alam," beber dia.
Sumiati sendiri sudah pensiun namun diminta membantu sekolah itu.
Berkali kali ia pakai uang pribadi untuk membiayai sekolah.
"Saya ikhlas, demi anak anak ini, agar mereka bisa sekolah," beber dia.
Usaha keras Sumiati cukup berhasil.
Suatu hari ada tentara yang datang ke sekolah itu.
Sumiati kaget.
"Ternyata ia murid sekolah ini, ada juga yang jadi polisi dan Satpol PP," kata dia.
Hanya Tamatkan 3 Siswa
Sekolah Dasar (SD) Negeri 18 dan SD Negeri 20 Manado hanya terpisah jarak beberapa meter.
Bentuk bangunannya nyaris sama, memanjang dan bertingkat dua.
Begitu pula masalahnya.
Susah murid.
Tahun ini, kedua sekolah tersebut hanya menamatkan masing-masing lima dan tiga siswa.

"Kami hanya tamatkan lima siswa," kata Kepala SD 18 Nancy Pesik.
Kata dia, sekolah tersebut kini hanya punya 40 siswa.
Siswa per kelas rata-rata sepuluh.
"Bahkan pernah kelas satu hanya satu siswa," dia menambahkan.
Ia mengaku sulit berharap pada pendaftaran siswa baru.
Hingga Jumat, baru lima siswa yang mendaftar.
"Dua di antaranya adalah anak di bawah umur," kata dia.
Penyebab sulitnya sekolah ini beroleh siswa, beber dia, adalah posisinya yang berada di pusat kota.
Pertokoan banyak sementara pemukiman minim.
"Kami hanya andalkan anak pegawai swasta yang indekos sekitar sini," kata Altje.
Adanya Kantor Dikda di samping sekolah itu juga memberi berkah.
Banyak pegawai di sana yang menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. "Agar mereka bisa awasi senantiasa," kata dia.
Sering, ujar dia, ada anak yang berhenti di tengah jalan karena orangtuanya pindah tempat kos.
Ia bercerita, sekolah itu pernah jaya pada awal 2000-an. Kala itu, menjadi sekolah paling ngetop.
"Saat itu dibangun Megamall dan mal lainnya, pekerjaannya banyak yang sekolahkan anaknya di sini, murid kami sampai ratusan, namun setelah pembangunan itu murid menurun tajam," kata dia.
Kedua sekolah itu sudah diusulkan merger karena tidak bisa menepati syarat jumlah siswa minimal 60.
"Sudah disampaikan ke pusat namun belum ada tanggapan," kata dia.
Nasib SD 20 lebih gawat lagi.
Informasi yang dihimpun Tribun, sekolah itu hanya menamatkan 3 siswa.
Pelamarnya pun baru satu.
Siswa kelas 1 hanya 1 orang dan kelas 2 cuma 3 orang.
Sayang Kepsek Agustin Weku enggan memberi komentar saat dihubungi wartawan via ponsel.
"Wah nanti saja saya sibuk," kata dia. (Tribunmanado.co.id/Arthur Rompis)