Koteka Suku Dani Juga Berfungsi Sebagai Dompet dan Tempat Tembakau
Walau dalam teknologi suku Dani mungkin ketinggalan beribu-ribu tahun, namun dalam hal kesehatan mereka cukup maju.
Kadang-kadang mereka memberi sepotong ubi yang diremas-remas dulu dengan tangan. Cara lain yang bagi kita agak menjijikkan: makanan dikunyah-kunyah dulu oleh si ibu, dimuntahkan di tangan, baru disuapkan ke bayi.
Bayi orang Dani dimasukkan dalam keranjang yang disebut noken atau yum, yang dibuat dari anyaman serat kulit pohon. Pegangannya dilingkarkan pada kepala dari belakang. Para bayi dibiarkan telanjang bulat.
Supaya hangat, keranjang tempat bayi itu diberi alas daun-daunan. Bila bayi itu buang air besar atau kencing, daun-daun kotor itu dibuang dan diganti dengan yang baru. Dengan cara ini bayi tetap bersih dan sehat.
Akibat kemajuan zaman, beberapa ibu mempunyai kain tilam untuk alas bayinya. Tetapi kain ini justru menjadi sumber penyakit, karena dipakai terus biarpun kotor. Mereka tidak mampu membeli sabun dan juga tidak punya kebiasaan mencuci.
Ujung koteka dijadikan "dompet"
Pasar dibuka tiap hari Senin dan Kamis. Namun, pasar pada hari Senin lebih lengkap dan meriah. Penduduk dari seluruh penjuru desa berkumpul di lapangan sepak bola yang terletak dekat lapangan terbang.
Khusus hari Senin mereka berpakaian lain dari biasanya, terutama muda-mudi. Konon hari pasar adalah kesempatan mencari jodoh. Karena itu mereka berdandan sebagus-bagusnya, terutama kaum pria.
Pada hari Senin koteka yang digunakan biasanya lebih besar dan kelihatan lebih baru. Ujungnya dihiasi dengan ekor kuskus, pinggang dililit dengan ikat pinggang merah. Mereka mengenakan kalung dari biji tumbuhan, lengan atas diberi gelang dari anyaman serat kulit kayu dan dihiasi bunga serta daun.
Rambutnya yang kribo diberi hiasan bulu ayam atau kasuari. Kadang-kadang di samping telinga kiri dan kanan diselipkan bunga.
Para gadis hiasannya lebih sederhana. Mereka memakai rok rumput yang dililitkan berlapis-lapis di bawah pinggang. Untuk hari Senin lapisan lilitannya lebih banyak, sehingga lebih mengembang seperti rok dalam wanita.
Ujung bawah diberi sumba warna merah dan hijau. Bagian dada dibiarkan telanjang. Kadang-kadang lehernya dihiasi kalung manik-manik. Telinganya dilubangi dan dihiasi benang berwarna yang diikat di lubang tersebut.
Kalau ada peniti, mereka memakainya sebagai anting-anting. Kalau ingin memotret mereka, para gadis itu biasanya langsung siap difoto. Berbeda dengan pemudanya, yang kadang-kadang minta waktu untuk menyisir dulu.
Di pasar dijual bermacam-macam sayuran, pakaian, garam, sardin dan noken. Yang membeli sayuran kebanyakan pendatang, sedangkan yang membeli barang dari luar adalah penduduk asli.
Satu keranjang kentang waktu itu harganya hanya Rp 100,00, sedangkan barang dari luar seperti sabun, garam dan pakaian beberapa kali lipat dari harga biasa.
Walaupun pembeli tidak banyak, tetapi pasar berlangsung sampai siang. Pasar tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk jual-beli, tetapi juga tempat berkumpul dan "hiburan" bagi penduduk dari berbagai desa.
Padahal untuk mencapai pasar, ada penduduk desa yang harus berjalan sampai dua belas jam. Mereka mendaki gunung sambil membawa sayuran di punggung. Anehnya, kaum wanita yang lebih banyak membawa barang.
Mereka membawa noken besar berisi sayuran. Kadang-kadang masih ditambah dengan memanggul anak di pundak. Sedangkan kaum prianya, apalagi yang masih muda, biasanya hanya membawa noken kecil yang disandang di pundak. Isinya cuma cermin dan sisir!
Pertama kali berbelanja, para ibu menasihati saya agar membawa uang pas. Saya pikir itu untuk kepraktisan saja. Namun, astaga, suatu kali seorang bapak penjual sayur memberi uang kembali yang diambil dari ujung kotekanya.
Ternyata koteka panjang itu diberi sekat, sehingga bagian atasnya bisa berfungsi sebagai "dompet" dan tempat tembakau.
Penyakit gila musiman
Anehnya lagi, di kalangan muda,terdapat penyakit gila musiman. Penyakit ini umumnya muncul pada bulan April. Yang terserang biasanya pria. Ada yang gila sungguhan, ada yang kelihatannya cuma pura-pura.
Yang terakhir ini, menonjolkan kegilaannya dengan memakai hiasan aneh-aneh supaya semua orang tahu bahwa mereka sedang gila.
Yang gila sungguhan justru tidak memakai hiasan aneh-aneh, tapi hanya tingkah laku dan pandangan matanya tampak liar. Kadang-kadang mereka berteriak-teriak sepanjang hari dan malam. Penyakit itu berlangsung beberapa hari dan kemudian sembuh sendiri.
Seorang mantri yang baik dan rajin pernah terserang penyakit itu. Menurut dia, waktu terserang penyakit tersebut kepalanya terasa pusing sekali, sampai dia memanjat pohon.
Ada macam-macam dugaan mengenai penyebab penyakit gila tersebut. Ada yang menganggap karena suasana yang monoton. Soalnya, menjelang Natal dan perayaan gereja tidak ada yang sakit gila. Sedangkan dugaan lain, mungkin karena sejenis virus.
Pesawat penuh harapan
Hal yang paling berat selama kami berada di pedalaman adalah rasa sepi dan suasana monoton. Pada hari-hari pertama di Tiom, kami sempat keheranan. Setiap-kali ada pesawat, semua orang berlari ke lapangan untuk menontonnya, termasuk guru dan murid.
Dugaan semula bahwa mereka menyambut kedatangan kami, bapak dan ibu dokter, ternyata keliru. Setelah sebulan baru kami menyadari apa arti pesawat bagi semua-orang di pedalaman.
Pesawat adalah satu-satunya penghubung dengan dunia luar, hiburan sekaligus harapan. Harapan untuk mendapat surat atau paket, serta kesempatan menitipkan surat.
Bila seminggu saja tidak ada pesawat, kami semua sudah resah. Bunyi pesawat jadi terasa merdu di telinga. Tidak heran kalau kami juga jadi ketularan.
Bila mendengar deru pesawat, lengkaplah seisi puskesmas, pasien, mantri dan ... dokternya pindah ke lapangan.
(Ditulis oleh dr. Ny. Lana Erawati Oyong. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1990)
Artikel ini sudah ditayangkan Intisari-Online.com dengan judul: Ternyata Koteka Suku Dani Juga Berfungsi Sebagai Dompet dan Tempat Tembakau