Rabies dalam Perdagangan Daging Anjing
Awalnya Anjing Jadi Teman Berburu, Kini Pesta Tak Lengkap tanpa Menu RW
Masyarakat menyebut olahan daging anjing Rintek Wuuk (RW), yang dalam bahasa Minahasa berarti bulu halus.
Penulis: Finneke | Editor: Alexander Pattyranie
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Masyarakat menyebut olahan daging anjing Rintek Wuuk (RW), yang dalam bahasa Minahasa berarti bulu halus.
Daging ini menggunakan campuran cabe rawit, jahe, kemangi, daun bawang, serei, daun jeruk.
Takaran cabe rawit harus banyak karena RW serasa kurang jika tak pedas.
Selalu ada RW di hidangan pesta-pesta masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara.
RW mendampingi olahan daging wajib lainnya seperti babi dan ayam.
Di rumah-rumah makan Minahasa juga banyak menjual RW.
Harganya relatif murah yakni Rp 25 ribu per porsi, sudah paket dengan nasi dan sayur.
Tak ada tahun jelas kapan orang Minahasa mulai mengonsumsi anjing, demikian sejarawan muda Christian Andre Tuwo.
Sejauh ini pun belum ada literasi, rujukan atau catatan yang memang khusus membahas awal mula masyarakat Minahasa mengonsumsi anjing.
Christian mengutip buku Jessy Wenas yang menulis penelitian antropolog Australia, Peter Bellwood di Paso, tepi darat Danau Tondano tahun 1985.
Tempat ini dipercaya menjadi awal mula peradaban bangsa Minahasa.
Dalam penelitian tersebut Bellwood menemukan sisa-sisa makanan manusia purba yang telah berusia sekitar enam ribu tahun.
Sisa makanan itu yakni tulang tikus, kelelawar, ular piton, babi hutan, babi rusa dan monyet.
Berdasarkan temuan tersebut Bellwood menyatakan orang Minahasa purba adalah pemburu.
Dalam penemuan itu Bellwood tak menyebutkan adanya sisa-sisa makanan dari anjing.
Christian menganalisa saat itu anjing hanya menjadi peliharaan karena hewan buruan di hutan masih banyak.
Masyarakat Minahasa mulai mengonsumsi anjing ketika buruan di hutan telah habis.
Ia memperkirakan saat itu bersamaan dengan telah kokohnya Kristen di Minahasa pada abad ke-16.
Karena pada masa itu masyarakat Minahasa mulai berkembang, pemukiman warga mulai padat.
Hutan yang dalamnya ada buruan pun menghilang.
Masyarakat Minahasa sendiri adalah warga keturunan ras Mongoloid.
Orang-orang Mongol terkenal dengan budaya makannya yang ekstrem.
Kondisi itu sama persis dengan budaya Minahasa saat ini.
Menurut Christian, kondisi alam dan letak geografis yang sama, membuat orang Mongol bisa bertahan hidup di tanah yang kemudian disebut Minahasa.
Kondisi alam memang mendukung prilaku manusia.
“Anjing-anjing di Minahasa ini kemungkinan memang dibawa bangsa Mongol ke tanah yang kemudian disebut Minahasa ini. Seiring berjalan waktu, karena naluri bertahan hidup, pada akhirnya warga Minahasa yang awalnya menjadikan hewan ini sebagai sahabat, akhirnya memakan mereka juga. Bahkan Jessy Wenas menulis, di abad modern kebiasaan Minahasa memakan daging ekstrem makin menggila,” jelas Christian.
Budayawan Greenhill Weol memberikan pandangan lebih spesifik soal anjing di Minahasa.
Ia mengatakan sejarah kedekatan anjing dengan masyarakat Minahasa telah melalui perjalanan panjang.
Anjing telah mewarnai sejarah terbentuknya Minahasa.
Orang-orang yang datang di tanah adat, yang kemudian disebut Minahasa, datang bersama anjing-anjing peliharaan mereka.
“Sebab anjing bukan hewan endemik di Minahasa. Anjing sendiri memang telah bersama manusia sejak proses penyebaran manusia ke seluruh dunia. Jadi kalau ditanya kapan sejarah Minahasa makan anjing, itu panjang sekali,” ujarnya.
Greenhill kurang setuju jika menyebut orang Minahasa memang khusus makan anjing.
Sebab orang-orang yang dikenal sebagai leluhur Minahasa memang sudah hidup akrab dengan anjing.
Manusia purba yang hidup berkelompok menjadikan anjing sahabat untuk berburu dan menjadi sahabat keluarga.
“Orang Minahasa butuh anjing sejak dulu hingga sekarang. Saat berkebun, berburu di hutan, anjing sangat membantu. Sekarang saja saat orang Minahasa ke kebun pasti membawa anjing. Jadi karena kedekatan ini, anjing telah menjadi sahabat juga menjadi makanan. Waktunya sejak kapan, lama sekali, tak bisa ditentukan,” ujarnya.
Masalah yang ditemukan sekarang ketika konsumsi daging anjing di Minahasa dan Sulawesi Utara pada umumnya dilihat dengan kacamata modern.
Orang barat hari ini tak lagi mengonsumsi anjing. Tetapi dulu waktu perang dunia I dan II, mereka tetap juga makan anjing.
Kondisi di mana mereka mengalami krisis pangan, tak ada lagi bahan untuk dimakan.
Menurut Greenhill itu juga yang terjadi di Minahasa.
Seiring berjalannya waktu, ia yakin masyarakat Minahasa akan sadar bahwa anjing dan kucing yang adalah hewan domestik, bukanlah makanan.
Hal ini hanya bisa dipercepat dengan edukasi ke masyarakat, banyak orang yang berbicara bahwa anjing itu sahabat manusia.
“Perlahanan saya yakin generasi ke depan akan menjadi seperti di barat, tak memandang anjing sebagai makanan,” ucapnya.
Namun ia berkata jangan menyalahkan budaya Minahasa yang dengan secara langsung mengatakan masyarakat Minahasa itu bar-bar karena mengonsumsi anjing.
Perjuangan organisasi pecinta hewan juga harus melihat kearifan lokal dan kontekstual. Perdagangan anjing dan kucing juga menjadi ladang bisnis.
Banyak warga menggantungkan sumber ekonomi mereka dari bisnis ini.
“Beri waktu pada masyarakat Minahasa untuk dewasa lewat edukasi. Organisasi yang menyuarakan anjing dan kucing bukan makanan itu saya yakin tujuannya untuk kebaikan. Tapi jangan menyerang budaya, itu buruk saya katakan. Karena ada kecenderungan membalas. Harus dengan perlahan. Menyerang budaya, itu artinya menyerang manusianya. Sifat dasar manusia yang diserang, bisa menyerang balik,” ucap Greenhill.
Konsumsi daging anjing bagi masyarakat Minahasa memang tak pernah dilarang secara tradisi maupun agama.
Minahasa yang memeluk agama Kristen Protestan, diperbolehkan memakan segala jenis hewan yang ada di muka bumi.
Menurut Pendeta Danny Weku, dalam ajaran agama Kristen yang memperbolehkan manusia makan segalanya ada di kitab Timotius dan Korintus.
“Dari tradisi dan agama, masyarakat Minahasa sudah punya pandangan bahwa anjing bisa dimakan. Tak ada larangan apapun. Kecuali mungkin hewan yang dianggap sakral seperti burung Manguni,” ucap Weku yang juga pemerhati budaya ini.
Menilik sejarah dan pandangan konsumsi anjing dari sisi agama dan budaya membuat perjuangan organisasi pecinta hewan di Sulawesi Utara menemui jalan terjal.
Namun hal itu tak serta-merta membuat mereka menyerah.
Perjuangan organisasi pecinta hewan yang menentang hewan domestik dijadikan makanan mengacu pada peraturan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office Internationale des Epizooties, OIE) dan Codex Alimentarius Commission (CAC) yang menyebut anjing tidak termasuk hewan potong untuk dikonsumsi manusia.
Anjing termasuk kategori hewan kesayangan atau pet animal.
OIE dan CAC menganggap mengonsumsi daging anjing melanggar prinsip kesejahteraan hewan.
Di dalam negeri, dasar hukum perjuangan organisasi pecinta hewan mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Hewan, di pasal 66 dan pasal 67.
Serta KUHP 302 yang juga berisi tentang prinsip kesejahteraan hewan.
Pembantaian sadis anjing dan kucing di pasar-pasar di Sulawesi Utara adalah tindakan melanggar hukum.
Animal Friends Manado Indonesia (AFMI) adalah satu di antara organisasi yang mati-matian menyuarakan prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare).
Pendiri dan Direktur AFMI, Mandane Parengkuan Supit mengatakan perjuangan AFMI memang berat.
Mereka sering mendapat tertawaan, pandangan sebelah mata bahkan perlawanan dari warga.
“Kalau mau bilang berat, saya bilang berat sekali. Kami menghadapi kebiasaan masyarakat Minahasa memakan segala jenis hewan,” ujarnya.
AFMI sendiri tak pernah melarang perdagangan anjing di pasar-pasar.
Sasaran AFMI adalah warga sebagai konsumen.
Memberikan edukasi bahwa hewan peliharaan anjing dan kucing bukan makanan.
Tak ada perdagangan daging anjing, jika tak ada permintaan pasar.
“Saya tanya ke teman pedagang di pasar, katanya kalau tak ada permintaan, mereka takkan jual lagi. Sehingga sekali lagi harus ditekankan, sasaran kami bukan pasar, tapi edukasi pada masyarakat sebagai konsumen," ucapnya.
AFMI berupaya mengedukasi masyarakat lewat kampanye langsung di publik, media sosial dan segala bentuk kegiatan yang bisa membangkitkan kesadaran masyarakat.
Sudah ada 48 anjing dan 52 kucing yang telah diselamatkan dan ditampung di shelter AFMI, hingga Maret 2018.
AFMI sendiri terdiri dari lima pengurus, tiga keeper dan tiga dokter.
AFMI bermarkas di Kota Tomohon Sejak 2015 lalu.
AFMI juga membangun shelter penyelamatan hewan dan klinik kesehatan hewan yang buka tiap hari.
AFMI pun bekerja sama dengan pemerintah, yang saat ini baru dengan Pemerintah Kota Tomohon untuk menekan penyebaran rabies. (Tribun Manado/Finneke Wolajan)