Bahas Dukungan ke Jokowi, Paloh Bertemu Petinggi PDI-P: Tuntutan Golkar hingga PKB
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh bertemu Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto dan sejumlah petinggi partai
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh bertemu Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto dan sejumlah petinggi partai di DPP Nasdem, Jakarta Pusat, Selasa (3/4/2018).
Pantauan Kompas.com, Hasto tiba di DPP Nasdem sekitar pukul 12.30 WIB bersama anggota DPR dari Fraksi PDI-P Rieke Diah Pitaloka, Arif Wibowo, dan Ketua DPP PDI-P Utut Adianto.
JANGAN LEWATKAN: Nasdem Tak Akan Lindungi Tersangka Koruptor
Sekjen Partai Nasdem Jhonny G Plate mengatakan, pertemuan tersebut akan membahas beberapa hal. Salah satunya, soal soliditas dan efektivitas koalisi partai-partai pendukung pemerintah.
"Kami akan mendiskusikan banyak hal. Yang pertama tentu efektivitas koalisi saat ini mendukung kabinet pemerintahan ini agar pemerintahan pak Jokowi semakin baik, sukses," ujar Jhonny di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/4/2018).
Selain itu, lanjut Jhonny, akan dibahas pula konsolidasi PDIP-Nasdem dalam menghadapi Pilkada 2018 dan Pemilu Serentak 2019 mendatang.
Kedua partai ingin memasikan partisipasi politik dan situasi keamanan saat pemilu berjalan dengan baik.
"Kedua, agenda-agenda politik kita ada Pilkada, Pileg, dan ada pilpres," kata Jhonny.
Jangan Monopoli
Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono menuturkan bahwa persoalan siapa calon wakil presiden yang akan mendampingi Joko Widodo pada Pilpres 2019 harus dibahas oleh koalisi partai pendukung.

"Ini yang perlu dibahas dalam partai koalisi. Partai koalisi jangan ada monopoli masuk ke partai. Harus berbagi-bagi begitu, kalau enggak nanti lu makan aja sendiri. Kita jangan sampai begitu," ujar Agung saat ditemui di Rakernas Partai Golkar, Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (23/3/2018).
Menurut Agung, seluruh partai pendukung harus mempertimbangkan elektabilitas dari sosok yang diusung sebagai cawapres.
Ia juga menegaskan bahwa sosok tersebut harus rekam jejak yang jelas, mampu meraup suara dari pemilih muda atau milenial dan diterima oleh seluruh kalangan.
"Tapi kalau sama sekali yang enggak dikenal Golkar memang akan menimbulkan sesuatu hal menjadi tanda tanya bagaimana soliditas dukungan nanti," tuturnya.
Sementara itu, Agung berharap cawapres pendamping Joko Widodo berasal dari Partai Golkar.
Menurut Agung, Partai Golkar memiliki modal politik yang kuat. Selain itu, Golkar juga sejak awal memberikan dukungan kepada Jokowi.
Saat ini sudah ada lima partai di parlemen yang telah memberikan dukungan kepada Presiden Joko Widodo di Pilpres 2019. Kelima partai tersebut adalah PDI-P, Golkar, Nasdem, PPP, dan Hanura.
Sementara lima partai belum mendeklarasikan dukungan, yakni PKB, Demokrat, Gerindra, PAN dan PKS.
"Modalitas politik kami kuat untuk bisa ke sana. Kami pernah tertinggi dan sekarang kami nomor 2.
Untuk capres kami kan mendukung Jokowi, hanya ya tentu diharapkan sekali dukungan dari Golkar itu dibuat maka harus dipertimbangkan agar cawapresnya itu berasal dari kader Golkar," kata Agung.
Jika posisi cawapres tidak diberikan kepada Golkar, lanjut Agung, maka partai berlambang pohon beringin itu menginginkan tambahan kursi di kabinet.
Saat ini Golkar memiliki tiga jatah kursi menteri di Kabinet Kerja, yakni Menteri Sosial yang dijabat oleh Idrus Marham, Menteri Perindustrian yang dijabat oleh Airlangga Hartarto dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
"Tadi sudah saya sampaikan misal profesional, eksternal partai atau penambahan di kabinet. Ya itu harus. Kalau tidak ya kita tidak dapat apa-apa. Masa tidak dapat apa-apa," ujar Agung.
Ia menilai hal tersebut wajar karena Golkar terus mengupayakan kemenangan Jokowi di Pilpres 2019 mendatang.
Dukungan itu diwujudkan melalui pembentukan himpunan relawan Golkar yang menyatakan dukungan ke Jokowi.
Di sisi lain, Jokowi juga bukan berasal dari Partai Golkar. Menurut Agung, wajar jika Golkar mendapat tambahan kursi menteri.
"Wajar dong kalau mendapat posisi. Meskipun kita sadar bahwa presidennya bukan dari Partai Golkar.
Ya paling tidak, seperti itu dan kalau tidak seperti itu jangan juga kemudian menyakiti perasaan kami," ucapnya.
Isyarat PKB
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengungkapkan bahwa partainya kemungkinan akan tetap berkoalisi dengan partai politik pendukung Presiden Joko Widodo di 2019.
"Saya pribadi sudah meyakini bahwa kebersamaan koalisi dengan PDI-P dan kawan-kawan di pemerintahan ini nyaman. Itu saya secara pribadi ya," ujar Cak Imin saat ditemui di Gedung Serbaguna Masjid Baiturrahman, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/3/2018).

Cak Imin tidak menampik adanya tawaran dari parpol di luar pendukung Jokowi untuk berkoalisi.
Ia juga sempat ditawari untuk maju sebagai capres dan membentuk poros baru.
"Tapi saya secara pribadi dan teman-teman kebanyakan juga merasa lebih nyaman dengan koalisi yang sudah ada.
Meskipun koalisi baru banyak yang mengajak dan kemudian menjadi alternatif. Saya jawab kepada teman-teman itu, ya kita saling mendoakan," kata Cak Imin.
Meski demikian, politisi yang akrab disapa Cak Imin itu menuturkan, keputusan partai terkait koalisi di Pilpres 2019 masih menunggu pendapat para kyai dan ulama Nahdlatul Ulama (NU).
Menurut Cak Imin, para kyai tak ingin dirinya terlalu cepat mengambil keputusan.
Oleh sebab itu, ia akan bertemu dengan para kyai dalam waktu dekat untuk membicarakan arah dukungan PKB.
"Tapi saya masih menunggu perkembangan para kyai dan ulama yang berkirim surat kepada saya supaya tidak terlalu cepat mengambil keputusan.
Para kyai mengajak musyawarah khusus dalam waktu dekat untuk melakukan pembicaraan kemana arah dukungan PKB," ucapnya.
Peluang Poros Ketiga
Partai politik saat ini sedang memproses penggodokan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) untuk diusung pada Pilpres 2019.
Saat ini, muncul wacana membentuk poros baru selain kubu pendukung Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Hal itu disampaikan Ketua DPP PAN Yandri Susanto. Yandri menilai saat ini masih ada kemungkinan untuk memunculkan capres selain dua nama tadi, yang elektabilitasnya kerap mendominasi di berbagai survei.
Ia mengatakan, saat ini masih tersisa lima partai yang belum mendeklarasikan capres, yakni Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat.
Menurut dia, jumlah kursi dari kelima partai ini cukup untuk membentuk poros baru.
Jika diasumsikan Gerindra dan PKS yang dimungkinkan mengusung Prabowo, maka PAN, PKB, dan Demokrat bisa mengusung capres baru. Jumlah kursi ketiganya yang sebesar 27,85 persen, cukup untuk mengusung capres.
"Memungkinan, kalau sampai pada saat hari ini di antaranya lima parpol belum ada yang ke Pak Jokowi masih bisa. Bisa dua calon lagi.
Artinya, Gerindra dengan calon sendiri karena dia cukup ambil satu partai. Nah tiga partai lain bisa buat poros baru," kata Yandri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/3/2018).
Ia menambahkan, poros baru itu bisa mengusung sejumlah nama yang potensial dalam berbagai lembaga survei sebagai capres.
Sejumlah nama tersebut ialah mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.

.
Meski nama-nama tersebut belum bisa mengimbangi elektabilitas Jokowi dan Prabowo, ia meyakini mereka tetap berpotensi sebagai capres.
"Itu ceritanya banyak ya. Kayak dulu misal Prabowo-Hatta, itu Bang Hatta dulu enggak muncul di survei, kan.
Tapi setelah muncul sah sebagai calon kan akhirnya masyarakat tahu. Artinya, elektabilitas pasti mengiringi calon yang sah," ujar Yandri.
"Jadi kami tidak terlalu khawatir memunculkan calon baru meskipun elektabilitasnya belum begitu bagus. Itu bukan suatu kendala. Prabowo-Hatta dulu sangat rendah. Tapi ketika bertarung dengan Pak Jokowi, kan, bedanya 3 persen saja," kata dia.
Akan tetapi, kata Yandri, poros baru bisa terbentuk jika dua partai yang cukup berpengaruh secara jumlah kursi tidak masuk ke dalam poros Jokowi atau Prabowo.
Jika salah satu dari keduanya bergabung ke poros yang sudah ada, maka poros baru tak bisa terbentuk.
Sementara itu, Ketua DPP PKB Lukman Edy menilai, pembentukan poros baru memang memungkinkan.
Di dalamnya tentu akan diperlukan peran partainya yang saat ini memiliki posisi strategis.
Ia mengatakan, PKB memiliki posisi strategis dalam Pilpres 2019 lantaran merebaknya populisme Islam di Indonesia.
Dengan basis massa Nahdlatul Ulama (NU) yang mengedepankan kemoderatan, ia meyakini dukungan PKB diperebutkan Jokowi, Prabowo, dan mereka yang menginginkan adanya poros baru.
Selain itu, Lukman menyatakan, jumlah kursi PKB di DPR juga menjadikan PKB sebagai penentu pembentukan poros baru tersebut. Jika PKB merapat ke Jokowi atau Prabowo, ia memastikan poros baru tak akan terbentuk.
Namun, Lukman memastikan komunikasi PKB dengan keempat partai yang belum mendeklarasikan capres untuk membentuk poros ketiga belum ada progres karena Muhaimin masih memiliki komunikasi yang baik dengan Jokowi.
Muhaimin sendiri digadang-gadang oleh PKB sebagai cawapres pada Pilpres 2019.
"Saya kira belum dibangun itu. Kan saya katakan sekali lagi komunikasi Cak Imin (Muhaimin) dengan Jokowi masih bagus," kata Lukman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/3/2018).
Ia mengatakan, PKB telah hampir lima tahun bersama dengan Jokowi menjalankan roda pemerintahan sehingga memiliki kedekatan dalam berkomunikasi. Dengan adanya menteri-menteri dari PKB, menurut Lukman, tentu semakin memuluskan komunikasi Cak Imin dengan Jokowi.
Namun, Lukman menyatakan PKB tetap mendorong Cak Imin berkomunikasi dengan semua pihak ihwal pencapresan ini.
Menanggapi kemunculan poros ketiga, Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menilai wajar wacana itu muncul. Sebab, saat ini masih tahap awal dalam masa penggodokan capres dan cawapres.
Dengan demikian, semua wacana pastinya akan digelontorkan oleh semua parpol, terlebih bagi mereka yang hendak memunculkan poros ketiga.
Namun, ia menilai sulit terbentuknya poros ketiga ini. Meski demikian, jika poros baru ini muncul ia menilai peran PKB dan Demokrat akan dominan sebab keduanya memiliki porsi kursi yang besar dalam membentuknya.
Karena itu, ia menyatakan, pembentukan poros baru akan sangat bergantung pada langkah politik kedua partai itu.
Saat ini ia menilai PKB masih cukup dekat dengan Jokowi sehingga sulit untuk membentuk poros baru.
Sementara Partai Demokrat, kata Qodari, akan bergantung pada keputusan ketua umumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Bagi SBY yang sangat memperhatikan survei tentu akan melihat hasil survei ke depan. Kedua tentu yang akan semakin membuka peluang bagi perkembangan AHY ke depan," ujar Qodari.
"Karena Pilpres 2019 ini kalau pakai kacamata SBY adalah momentum untuk menghantarkan AHY ke pentas politik yang lebih besar," kata dia. *
Artikel ini telah dimuat di kompas.com dengan judul: Bahas Soliditas Koalisi Pendukung Jokowi, Surya Paloh Bertemu Petinggi PDI-P