Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

AS Perketat Kunjungan Turis: Wajib Lapor Akun Sosmed, Ekstraduksi Hacker, Bos FB Bilang Begini

Para pendatang yang ingin memasuki wilayah AS akan diwajibkan untuk melaporkan akun media sosial mereka

Editor: Lodie_Tombeg
Kompas.com
Pengawasan sebuah bandara internasional di AS 
hawaii
hawaii ()

Dilansir dari AFP, para pencari visa, baik pengunjung maupun calon imigran, akan diminta untuk mengisi kolom daftar media sosial yang dimiliki.

Tak hanya akun media sosial yang miliki, para pencari visa juga bakal diminta melaporkan nomor telepon yang pernah digunakan hingga alamat email.

"Pencari visa akan diminta untuk menyebutkan media sosial yang mereka gunakan mulai dari lima tahun sebelum pengajuan permohonan visa."

"Daftar pertanyaan lain yang harus dijawab yakni nomor telepon yang pernah digunakan selama lima tahun terakhir, alamat email dan juga catatan perjalanan internasional," tulis edaran seperti yang dirilis dalam Federal Register.

Aturan tersebut pertama kali ajukan pada tahun lalu sebagai bagian dari apa yang disebut oleh Presiden Donald Trump sebagai "pemeriksaan ekstrem" terhadap para calon pengunjung yang akan memasuki wilayah AS.

Sejumlah pihak, terutama dari kelompok kebebasan sipil mengkritik rencana aturan tersebut sebagai bentuk pelanggaran terhadap privasi.

Namun para pejabat pemerintah menilai, langkah pemeriksaan tersebut perlu untuk dapat mengidentifikasi potensi ektremis sedini mungkin dan mencegah kemungkinan ancaman yang mungkin terjadi.

Aturan tersebut nantinya akan berlaku bagi pemohon visa imigran dan formulir pendaftaran orang asing, maupun aplikasi untuk visa non-imigran.

Setahun terakhir tercatat hingga lebih dari 500.000 orang telah mengajukan visa imigran AS dan lebih dari 9 juta pemohon untuk visa pengunjung.

Aturan tersebut tidak akan berlaku bagi pengunjung dalam misi diplomatik dan pejabat negara.

Setelah dirilis pada Jumat (30/3/2018) maka akan diberi waktu 60 hari kepada badan maupun anggota masyarakat yang ingin mengirimkan komentar dan usulan perubahan aturan.

Nantinya ditargetkan aturan tersebut sudah akan disetujui pada 29 Mei mendatang.

Ceko Ekstradisi Seorang "Hacker" Rusia ke AS

Ilustrasi
Ilustrasi (BBC)

 
Pemerintah Ceko telah mengekstradisi seorang hacker Rusia yang tengah dicari karena dugaan melakukan serangan siber di jejaring sosial ke AS.

Yevgeni Nikulin, yang berkewarganegaraan Rusia itu juga dicari di negaranya karena tuduhan melakukan penipuan.

Sebelum diekstradisi ke AS, Nikulin sempat ditahan di penjara Praha sejak ditangkap pada 2016 dalam operasi gabungan dengan FBI.

Ekstradisi itu diduga berkaitan dengan tuduhan Washington kepada Rusia yang telah melakukan peretasan dan berupaya mengintervensi jalannya Pemilu Presiden AS pada 2016. Tuduhan itu langsung dibantah Kremlin.

"Tindakan ekstradisi telah dilakukan terhadap warga Rusia, Y Nikulin ke AS. Proses ekstradisi telah dilakukan dalam waktu semalam," kata juru bicara Kementerian Kehakiman Ceko, Tereza Schejbalova, melalui akun media sosial Twitter.

Dikutip AFP dari laman flightware, sebuah pesawat AS dilaporkan telah meninggalkan Praha segera setelah Kamis (29/3/2018) tengah malam dan mendarat sembilan jam kemudian di dekat Washington.

Menanggapi ekstradisi terhadap warga negaranya, Moskwa menuduh Washington telah melecehkan warga negaranya dan menegaskan melawan ekstradisi Nikulin.

Namun Rusia juga mengeluarkan surat perintah penangkapan terpisah untuk Nikulin atas dugaan pencurian online.

Washington telah menuduh Nikulin melakukan peretasan terhadap jejaring sosial LinkedIn dan Formspring serta masuk secara ilegal ke layanan Dropbox.

Tahun lalu, pengadilan Praha memutuskan dapat mengekstradisi Nikulin ke Rusia atau AS dan menyerahkan keputusan akhir pada menteri kehakiman Ceko.

Facebook: Rusia Terlibat Dalam 80.000 Postingan Selama Pemilu AS

Facebook
Facebook (afp)

Facebook membeberkan adanya keterkaitan Rusia dalam 80.000 postingan yang meramaikan lini masa selama periode pergantian kekuasaan di Amerika Serikat.

Keseluruhan postingan itu diterbitkan oleh operator yang berbasis di Rusia.

Dikutip dari CNBC, Selasa (31/10/2017), penasihat umum Facebook, Colin Stretch mengatakan, 80.000 postingan dari Badan Penelitian Internet Rusia itu hanya sedikit dari konten di Facebook.

Setidaknya, setara dengan 1 dari 23.000 postingan. Namun demikian, puluhan ribu postingan yang diunggah di media sosial itu setidaknya sudah dilihat 126 juta warga AS.

Stretch mengungkapkan, aktivitas postingan tersebut lebih banyak menggunakan akun palsu. Unggahan konten itu juga telah melanggar persyaratan layanan Facebook.

"Tindakan itu bertentangan dengan misi Facebook untuk membangun komunitas dan semua hal yang kita perjuangkan," tulisnya dalam sebuah testimoni.

"Kami bertekad untuk melakukan apapun untuk mengatasi ancaman ini," tambahnya.

Sebanyak 80.000 postingan tersebut diunggah antara Juni 2015 hingga Agustus 2017.

Mayoritas postingan berfokus pada pesan sosial dan politik yang bersifat memecah belah, seperti mengenai hubungan ras dan hak kepemilikan senjata.

Sky News menulis, detil dari laporan Facebook akan dirilis dalam testimoni tertulis dan diserahkan ke Kongres sebelum rapat komite dilakukan pada pekan ini.

Komite Kongres tersebut tengah menginvestigasi dugaan upaya Rusia dalam menyebarkan informasi yang salah menjelang beberapa bulan sebelum pemilu presiden AS.

Namun, pemerintah Rusia membantah tuduhan itu.

Sementara, Twitter sudah menyampaikan ke Kongres terkait temuan 2.752 akun yang terkait dengan agensi yang sama asal Rusia.

Kemudian, Twitter menangguhkan akun-akun tersebut dan menyerahkan rinciannya ke penyidik Kongres. Ada sekitar 1,4 juta tweet otomatis mengenai pemilu AS.

Dalam testimoni tertulis, Twitter menyampaikan aktor canggih manipulasi unggahan seputar pemilu merupakan tantangan baru.

Media sosial berlambang burung biru itu bahkan ingin bertemu dengan orang tersebut.

Pejabat eksekutif Facebook, Twitter, dan Google Alphabet dijadwalkan hadir sebelum tiga komite kongres pada pekan ini.

Kehadiran mereka terkait dugaan penyebaran informasi yang salah oleh Rusia sebelum dan sesudah pemilihan presiden AS 2016.

Trump dan Rusia

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump telah mencopot James Comey dari jabatannya sebagai Direktur Biro Penyelidik Federal (FBI).

Beberapa hari sebelum pemecatan, Comey mengatakan kepada anggota parlemen AS bahwa dia telah menghubungi Departemen Kehakiman.

Kepada Departemen Kehakiman, Comey meminta sokongan sumber daya, guna mempercepat penyelidikan FBI dalam dugaan campur tangan Rusia dalam proses pemilihan Presiden AS tahun lalu.

Pada kampanye pemilihan presiden 2016, sejumlah laporan menunjukkan Trump memiliki kontak dengan sumber-sumber Rusia.

Manajer tim kampanye Trump, Paul Manafort, juga diketahui memiliki hubungan keuangan dengan sumber-sumber Rusia.

Menantu Trump, Jared Kushner, pernah terlihat menghadiri sebuah pertemuan bersama putra Trump, Donald Trump Jr dengan seorang pengacara Rusia.

Dalam pertemuan itu, Kusher dan Trump Jr dijanjikan akan memperoleh informasi yang dapat merugikan Hillary Clinton. *

Artikel ini telah tayang di kompas.com dengan judul: Masuk AS, Turis Bakal Diwajibkan Laporkan Akun Sosial Media

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved