Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Jarang Diketahui, Ternyata Pria inilah Penyumbang Emas Untuk Monas, Pria Terkaya Era Soekarno

Tanda tanya pun muncul dari yang ingin mempertanyakan, siapakah sebenarnya? Teuku Markam merupakan saudagar yang terlahir 1924.

Editor:
Netralnews
Istimewa Teuku Markam, orang yang menyumbang emas untuk pembangunan Monas. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Hampir  setiap orang minimal yang mengetahui tentang Ibukota Jakarta apalagi mendatanginya  akan berdencak kagum melihat  tugu monas yang berdiri  kokoh sebagai ikon kota yang sebelumnya lebih familiar dengan sebutan Betawi.

Terkait  dengan ikon Ibukota DKI Jakarta, yakni Monumen Nasional (Monas) setinggi 132 meter itu dibuka untuk umum sejak 12 Juli 1975.

Yang  luar biasa tugu ini memiliki mahkota ber­bentuk lidah api yang dilapisi lembaran emas.

Menurut sumber yang berkompetan,  hal itu melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala dari bangsa ini pada saat Monas dibangun.

Emas yang dipasang di Monas itu memiliki berat 28 kilogram terdapat berbagai versi yang berbeda  tentang emas di puncak Monas tersebut.

Versi yang dianut umum menyebutkan, emas itu merupakan sumbangan dari Teuku Markam, seorang saudagar Aceh yang pernah menjadi orang terkaya di Indonesia pada era Presiden Soekarno.

Tanda tanya pun muncul dari yang ingin mempertanyakan, siapakah  sebenarnya? Teuku Markam  merupakan  saudagar Aceh yang terlahir 1924.

Ayahnya bernama Teuku Marhaban, berasal dari Kampung Seuneudon, Alue Capli, Panton Labu, Aceh Utara.

Ternyata Teuku Markam sudah dikodratkan oleh  Allah SWT  menjadi yatim piatu ketika ia berusia 9 tahun. Lalu ia diasuh oleh kakaknya yang bernama Cut Nyak Putroe.

Ia sempat bersekolah sampai kelas 4 Sekolah Rakyat (SR).

Dalam perjalanan hidupnya,  Teuku Markam mengikuti pendidikan wajib militer di Kutaraja, yang sekarang bernama Banda Aceh.

Ilustrasi
Ilustrasi (ISTIMEWA)

Selama bertugas di Sumatra Utara (Sumut), Teuku Markam aktif di berbagai pertempuran.

Bahkan ia ikut mendamaikan pertengkaran antara pasukan Simbolon dan pasukan Manaf Lubis.

Seperti diwartakan Netralnews.com, sebagai prajurit penghubung, beliau diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah.

Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto.

Tugas itu diembannya sampai Gatot Soebroto meninggal dunia.

Tahun 1957, Teuku Markam berpangkat kapten.

Ia kembali ke Banda Aceh dan mendirikan sebuah lembaga usaha yang bernama PT Karkam.

Lalu perusahaan itu dipercaya oleh pemerintah mengelola rampasan perang untuk dijadikan dana revolusi. Selanjutnya Teuku Markam benar-benar berhenti menjadi tentara.

Kemudian, ia melanjutkan karirnya ke dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, dan Surabaya.

Bisnisnya semakin luas, karena ia juga terjun dalam ekspor-impor dengan sejumlah negara.

Antara lain ia mengimpor mobil Toyota Land Cruiser (Hardtop) dari Jepang, besi beton, pelat baja, bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Dephankam dan presiden.

Komitmennya untuk membantu pemerintah adalah untuk mendukung pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno.

Beliau termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain.

Berkat bantuan para konglomerat itulah KTT Asia Afrika berhasil memerdekakan negara-negara yang ada di Asia dan Afrika.

Namun sejarah kemudian berbalik.

Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tak ada artinya di mata pemerintahan selanjutnya.

Secara sepihak ia difitnah sebagail PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme.

Akibat tuduhan itu ia dipenjarakan pada tahun 1966.

Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses pengadilan seperti orang-orang yang tertuduh PKI lainnya.

Teuku Markam pun berpindah dari satu penjara ke penjara lain.

Pertama-tama ia dimasukkan ke tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba, Jalan Percetakan Negara.

Tak lama ia dipindahkan lagi ke Rumah Tahanan Cipinang, lalu terakhir ia dipindah ke Rutan Nirbaya, Pondok Gede, Jakarta Timur.

Pada 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Soebroto selama kurang lebih dua tahun.

Tak hanya di situ, Pemerintah Orde Baru juga merampas hak milik PT Karkam dan mengubahnya menjadi atas nama pemerintah.

Sejak itu, dan beriringan dengan jalannya waktu yang bersamaan dengan roda pemerintahan yang terus bergulir, perlahan namun pasti nama dan jasanya semakin terlupakan.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved