Harga Kopra Anjlok, Petani Menjerit, Apa Langkah Pemerintah?
Normalnya harga kopra biasanya berada di angka Rp 1 juta per 100 kilogram atau Rp 10 ribu per kg.
Penulis: Ryo_Noor | Editor: Alexander Pattyranie
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Harga kopra anjlok.
Harga per 100 kilogram menyentuh Rp 600 ribu, atau Rp 6.000 per kilogram.
Normalnya harga kopra biasanya berada di angka Rp 1 juta per 100 kilogram atau Rp 10 ribu per kg.
Untuk harga per buah kelapa minimal Rp 5.000 kini dijual Rp 2.000 per buah.
"Kondisi sekarang memang harga di bawah," ujar Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Utara Refly Ngantung kepada TribunManado.co.id, Jumat (16/3/2018).
Sayangnya, pemerintah tak bisa mengintervensi pasar.
Harga kopra mengikuti harga minyak dunia.
Sejauh ini petani hanya berharap dari produksi produk kopra, termasuk barang setengah jadi.
Agar tak terlalu bergantung ke mekanisme pasar minyak, maka harus ada penguatan revitalisasi industri.
"Bukan hanya produksi bahan setengah jadi. Kalau bisa bahan jadi. Kembangkan Home industri," kata dia.
Kelapa tak hanya kopra saja, banyak produk turun lain sepeti Virgin Coconut Oli, arang tempurung, minuman segar dan tepung kelapa.
Jika masih mengandalkan kopra mau tidak mau tidak mau harus berhadapan dengan mekanisme pasar, berlaku hukum ekonomi dan pemerintah tidak bisa mengintervensi.
"Antisipasi dengan produk turunan bukan cuma kopra. Perkuat industri ke produk jadi supaya nilai tambahnya. banyak turunan produk sangat potensial dari segi ekonomi," kata dia.
Pemerintah mengandalkan APBD dan APBN untuk membantu masyarakat termasuk petani.
Tapi hal itu untuk stimulus bukan mengintervensi pasar.
Ketimbang berharap pasar minyak ke Eropa, ada peluang bisnis turunan lain ke pasar Cina.
Gubernur Olly Dondokambey sedang berupaya mewujudkan pasar langsung ke Cina, tinggal bagaimana pengusaha menangkap peluang ini agar ke depan petani tak hanya bergantung pada produk kopra.
Karena komoditi ekspor yakni minyak kelapa selalu berorientasi hukum permintaan penawaran.
Ada kalanya harga naik tinggi, namun ada waktunya harga turun.
Kopra jadi primadona karena lebih mudah diproduksi dibanding produk turunan lain.
Selain itu kopra cepat perputaran uangnya sehingga berada pada zona nyaman, sehingga masih enggan menyentuh produk turunan lain meski potensinya besar.
"Kopra memang jadi tulang punggung ekonomi dan mampu bertahan dari tahun ke tahun," ujar Refly.
Saat harga tinggi maka semua nyaman, tapi saat harga anjlok pemerintah yang langsung disalahkan.
Memang butuh sinergitas dari hulu ke hilir untuk menggeser ketergantungan produksi ke kopra di arahkan untuk menciptakan industri produk turunan lain.
Petani harus kompak, jika bersatu petani bisa mengatur ritme, kontinuitas kualitas, kuantitas. (Tribunmanado.co.id/Ryo Noor)