Mengerikan! Algojo ini Pernah Salah Gantung, Ternyata ini yang Mereka Lakukan Sebelum Dieksekusi
Berulang-ulang terpidana diberi tahu bahwa kematian berjalan cepat dan tidak menyakitkan kalau mereka menghadapinya dengan tenang dan tidak melawan.
Begitu tahu saya ini tukang gantung resmi, hati bos saya yang galak itu menciut. Saya boleh tetap bekerja di tambang. Empat minggu setelah tawaran pertama, saya mendapat tawaran ikut menggantung seorang kuli tambang yang membunuh seorang gadis. Pada waktu yang bersamaan akan digantung pula seorang kuli pelabuhan yang membunuh istri orang.
Saya sebetulnya lebih senang mengasisteni Pierrepoint, karena saya kenal kepadanya dan ia tampak ahli betul dalam pekerjaannya. Namun, saya kebagian membantu algojo Steve Wade yang belum pernah saya lihat. Tanggal 12 Desember, 24 jam sebelum eksekusi dijalankan, saya pergi ke Durham dengan hati waswas. Waktu ltu sudah selahun saya lulus ujian algojo, tanpa pernah praktek.
Di luar dugaan, ketika berganti kereta di Sheffield, saya bertemu dengan Harry Allen. la diminta membantu mengeksekusi kuli pelabuhan! "Kau pernah kebagian pekerjaan?" tanya saya. "Belum," jawabnya. Pengalamannya sama seperti saya: diundang tetapi tidak jadi dipakai. Hati saya jadi besar lagi. Di Penjara Durham barulah saya bertemu dengan Wade. Orangnya pendiam dan seperti kurang percaya diri. Ternyata Harry akan mengasisteni teman lama kami, Harry Kirk yang senang bercanda.
Algojo Risau
Kami berempat diantar ke rumah sakit penjara yang akan menjadi tempat menginap kami, lalu kami dibawa "mengintip" terpidana mati yang keesokan harinya akan dieksekusi. Di sel tempat terpidana, Wade mengintip. Kelihatan ia risau. Lalu giliran saya. Sel itu sama saja seperti sel tempat kami latihan, tetapi di dalamnya ada terhukum yang oleh masyarakat dijuluki si Binatang karena kejamnya.
Ia sedang main kartu dengan dua penjaganya, yang siang-malam tidak membiarkan ia sendirian. Si Binatang tampak normal saja dan masih muda sekali. Mengapa Wade risau?
Setelah itu Wade mengintip ke lubang yang sebuah lagi. Rasanya lama sekali. Lalu tiba giliran Kirky. Kami masuk ke kamar eksekusi. Wade menghitung-hitung panjang jatuh yang harus diberikan kepada kedua terpidana. Wade sebagai "si nomor satu" memeriksa segalanya dengan cermat sebanyak dua kali, sedangkan Kirky cuma mengawasi untuk memberi Harry dan saya kesempatan praktek. Karena dua eksekusi akan dilakukan berbareng, tali gantungan tidak dipasang di tengah, tetapi dipisahkan oleh jarak 1 m.
Setelah dua kantung pasir dipasang di titik yang kelak akan ditempati oleh terpidana, Wade melakukan pemeriksaan terakhir dan meminta pengawal memanggil kepala penjara. Kepala penjara datang bersama under-sheriff dan seorang pejabat lain. Mereka mengambil tempat sekeliling pintu jebakan. "Siap, Pak?" tanya Wade. Kepala penjara mengangguk dan Wade melepaskan ganjal dan alat pengunci pengungkil. Pintu jebakan menganga dan dua kantung pasir merosot ke dalamnya.
"Mulus?" tanya kepala penjara.
"Mulus," jawab Wade.
Kami keluar dan pintu kamar eksekusi dikunci. Kantung pasir dibiarkan tergantung untuk menyempatkan tali mulur. Kemudian Wade minta pengawal meninggalkan kami sebentar di kamar kami.
Ia menjelaskan bahwa si buruh tambang pernah mencoba bunuh diri, sehingga lehernya luka. Setelah sembuh, lehernya teleng. Inilah yang mengkhawafirkan Wade. la takut ada pengaruhnya pada penggantungan. la mengatur agar orang itu dijemput lebih dulu, kemudian barulah Kirky dan Harry menjemput yang kedua. Malam itu seperti biasa kami tidur pukul 22.00. Bagi saya waktu lewat lama sekali dan sangat menggelisahkan. Apalagi bagi terpidana.
Pukul 07.30 saya dibangunkan. Kami berdandan dan sarapan, sebelum pergi ke kamar eksekusi. Wade berpesan agar kami jangan berisik, sebab para terpidana ada di sel masing-masing. Ternyata gang di muka pintu sel sudah ditutup dengan keset supaya langkah kami tidak kedengaran. Lubang untuk mengintip pun sudah ditutup. Kami membenahi kantung pasir dan pintu jebakan. Wade menyiapkan pengungkil dan mengukur kembali tali yang mulur masing-masing setengah inci. Harry dan saya naik tangga untuk menyesuaikan rantai. Setelah Wade puas dengan tinggi kalung tali dsb., kami meninggalkan sel itu diam-diam.
Lima puluh lima menit menunggu di kamar kami merupakan saat yang paling menyiksa. Kami diam saja. Tidak ada yang bernafsu untuk berbicara. Suasana di seluruh penjara hening. Perut saya meronta-ronta karena senewen. Bagaimana kalau terpidana melawan? Apakah saya bisa cukup cekatan?
Anehnya makin lama Wade tampaknya makin percaya diri. Padahal sipir saja pucat. Saya ingat kembali kata-kata Hughes, "Kalau kau masuk ke sel, perlihatkan wajah tegas tapi jangan brutal. Jangan membuat ia panik secara tidak perlu."