Kejang Hampir Setiap Saat, Rasa Sakitnya Bikin Savran Ingin Mati saja
Dia frustasi dengan penderitaanya itu. Bahkan Savran mengakui terus-terang, kadang ingin cepat meninggal dunia ini agar terbebas dari penderiatannya.
Penulis: Christian_Wayongkere | Editor:
Laporan wartawan Tribun Manado Christian Wayongkere
TRIBUNMANADO.CO.ID, KOTAMOBAGU - Belasan tahun Savran Gilalom (46), warga Desa Ibolian, Kecamatan Dumoga Tengah, Kabupaten Bolaang Mongondow, harus menahan derita.
Dia hanya bisa terbaring di atas tempat tidur sambil menahan sakit. Bahkan keluarganya terpaksa mengikat pangkal kaki dan betis kirinya.
Badannya memang terlihat berisi, namun dua telapak tangan serta jari-jarinya tak berfungsi. Hanya lengan tangannya masih bergerak naik turun.
Untuk bisa beraktivitas sehari-hari, ia harus dibantu oleh Aenan Mokoginta yang sudah sepuh.
"Hasil pemeriksaan dokter dugaan sementara saya mengalami penyempitan sum-sum tulang belakang, sehingga nasib saya seperti ini," kata Savran, Kamis (23/11/2017).
Dia frustasi dengan penderitaanya itu. Bahkan Savran mengakui terus-terang, kadang ingin cepat meninggal dunia ini agar terbebas dari penderitaannya.
"Diikat seperti ini untuk mencari ranya nyaman, karena jika tidak sering muncul kenjang-kejang karena penyakit yang saya derita.
“Kejang-kejang membuat kedua kaki akan mengarah ke badan. Sakitnya sangat terasa di bagian perut," kata Savran.
Bahkan saat berbincang dengan Tribun Manado, ia terkadang kejang-kejang. Dia mengaku sakitnya minta ampun.
Hal itu harus ia rasakan hampir setiap waktu.
Savran merasakan rasa sakit itu 2005. Hingga 2007, ia masih bisa berjalan meski harus dibantu dengan tongkat kayu atau dalam bahasa daerah Bolmong disebut diki-diki.
Awalnya kaki kanannya yang terasa berat melangkah. Telapak kaki hingga ujung kaki terasa kram.
Namun kemudian rasa sakit itu kemudian merambah ke seluruh tubuh hingga seperti kondisi sekarang.
Tak jarang ia pun memukulkan lengan tangannya ke arah paha untuk menghilangkan rasa kram.
"Semua badan terasa sakit karena pengarus saraf besarnya yang menyempit. Kondisi diikat seperti ini sejak tahun 2008," kata dia.
Savran sudah berusaha berobat. Bukan sekali, bahkan beberapa kali. Dari mulai ke dokter praktik hingga ke RSUP Kandou, Manado.
Namun ujung-ujungnya dia memilih dirawat saja di rumah karena faktor biaya mahal.
Bukan tak ada niat untuk berobat ke Jakarta, bahkan pihak rumah sakit dan dokter menawarkannya.
Namun karena biayanya yang mahal membuat niat itu tak tercapai.
"Butuh ratusan juta untuk mengobati penyakit yang saya derita saat ini.
"Semoga ada dermawan yang bisa membantu biaya penyembuhan dari sakit yang diderita," katanya.