Edisi Minggu History
(History) Setelah Raja Kaidipang Menjadi Kristen
Kubur raja itu juga tidak tampak seperti kuburan modern sekarang. Kubur itu seperti bongkahan batu saja.
Penulis: | Editor: Aldi Ponge
Laporan Wartawan Tribun Manado David Manewus
TRIBUNMANADO.CO.ID, BOROKO - Melihat sekilas dari pinggir jalan, karena tanpa penanda dan keterangan, tidak banyak yang tahu bahwa sebidang tanah yang sudah dipagari beton itu ialah pekuburan. Apalagi itu adalah kubur raja pertama Kaidipang, Maurist (Maoritz) Datu Binangkal Korompot.
Kubur raja itu juga tidak tampak seperti kuburan modern sekarang. Kubur itu seperti bongkahan batu saja.
Pekuburan itu berada di daerah yang disebut Lipobogu (kampung lama) dan kini sudah menjadi perkebunan.
"Raja Maurist merupakan raja pertama yang beragama Kristen Katolik dari tujuh raja pertama. Tujuh raja berikutnya sudah beragama Islam," kata Sinyo Daud Korompot, keturunan keduabelas dari Raja Korompot yang terakhir saat ditemui di rumahnya, Kamis (5/10).
Sinyo mengatakan, Raja Maurist menerima pembaptisan dari Portugis dan saat itu ia menerima nama Maurist. Tidak banyak keterangan yang diberikan Sinyo setelah itu dan langsung masuk pada kedatangan bangsa Belanda dengan kehadiran Piether Van De Brooek pada 1630.
Van De Brooek yang kemudian membawa Maurits dinobatkan sebagai raja oleh Raja Goa. Saat kembali, Maurist disematkan mahkota (crown pet) oleh Van De Brooek.
"Korompot itu asal katanya dari crown pet itu," ujarnya.
Nama Desa-desa
Dalam perjalanan pulang, Raja Maurist melewati Lumutung (Limboto) melalui Desa Titidu Alata, lalu melewati antara Gentuma dan Imana. Di Tuntung sekarang dilepas kera dengan bunyi gong. "Tung... tung... dan itu yang menjadi asal kata Tuntung. Raja lalu melewati perairan Lambako dan masuk daerah Tanjung Dulango sekarang. Saat masuk di daerah itu, gelombang air yang bergejolak menjadi tenang. Air seperti dalam dulang (baskom) dan itu yang menjadi asal muasal nama Dulango," kata dia.
Perjalanan raja kemudian berlanjut ke perairan Madonga lalu dibunyikan meriam tujuh kali. Di Kambaho dilepas sepasang burung putih (Duoyo) di Batu Manuko. Saat masuk pelabuhan Boroko sekarang, Raja Maurits meminta semua mencelupkan kaki ke air.
"Mencelupkan kaki disebut Mevuhuloko (Huloko) dan akhirnya menjadi asal muasal nama Desa Boroko. Sebelum tiba di Lipobogu, Raja beristirahat di Mohing (kedamaian hati) dan nama Mohingo berasal dari itu," terang dia.
Pemerintahan Raja
Raja lalu menyusun kerajaan dengan adanya Kapitalau (kapten laut), Kapitabisara (juru bicara), Jojugu dan Togi Huta (semacam dewan).
Ia membagi batas kerajaan dengan timur berbatasan dengan laut, selatan dengan gunung Tilong Kabila Gorontalo, barat dengan Gentuma, dan timur dengan Sampiro (bahasa Kaidipang tertulis Samberu, artinya 'sampai di sini').
Tahun 1967 bersama dengan Buol, kerajaan ini pernah menyerang Kerajaan Bolaang tapi gagal di mana Kerajaan Bolaang meminta bantuan Kerajaan Siau dengan panglimanya Hengkenaung. Tahun 1670‑an, bersama Mandar dan Buol, mereka menyerang lagi tapi gagal sekitar tahun 1676. Maurist memerintah dari tahun 1630‑1679.
Leluhur
Sinyo membenarkan bahwa nenek moyang Datu Binangkal ialah Bayamoito dan Labinggele melalui sebuah buku dengan tulisan tangan yang ditunjukkannya kepada Tribun Manado.
"Mereka tinggal di Vuntu (gunung) Moilon Mokapogu/Kadul sekitar pegunungan Kabila Selatan Kaidipang," katanya.
Ia mengatakan kedua leluhur itu selain bertani juga momagiso (menyadap nira). Setelah suatu malam yang mencekam dengan hujan dan halilintar, pada suatu pagi yang cerah mereka mendengar suara tangisan bayi di dalam rotan merah (Uwe Do'na) dekat mata air tempat di mana mereka biasa mandi, mencuci dan lain‑lain. Mereka tidak memperhatikan rotan yang yang makin hari makin membesar di mana Bayamoito sering kecing. Dari rotan itu keluarlah bayi.
Anak itu bernama Mokodoludu. Mokodoludu menikah dengan Manggeadi dan mendapatkan anak Dotinggulo. Dotinggulo menikah dengan Katulimeme dan mendapatkan anak Mokoanga. Mokoanga yang menikah dengan Kumilato yang kemudian mendapatkan anak Maoritz Datoe Binangkal Korompot (Pugu‑pugu).
Asal Kata Kaidipang
Kata 'Kaidipang' sendiri berasal dari kata 'keidupa' yang terdiri dari kata 'kei' yang berarti 'kayu' dan 'dupa' yang berarti 'harum'. Menurut Sinyo, kayu itu biasa dipakai untuk membuat perahu dow.
Daerah Kaidipang sendiri sudah tertulis dalam buku Carte de'l Isle Celebes ov Macassar 1400 halaman 249 dengan tulisan "caidoepa". DR EG Godve Mals Bergen dalam buku Gischal Den Van Minahasa TAT 1928 halaman 202 menulisnya caidipan, coudipan, caudepan, caydipan. Dalam Bolaang Mongondow Dosch Nederlanch karya DR Demischer ditulis caidipan "kayu doepa".
Adapun gelar Datu Binangkal berasal dari kata 'datu' yang artinya 'pemimpin', dan 'binangkal' yang artinya 'diagungkan' atau 'dibesarkan'.
Raja-raja Kaidipang
1. 1630‑1679 - Maurits Datuk Binangkal Korompot, Kristen Katolik
2. 1679‑1699 - Tiaha Korompot, Kristen Katolik
3. 1699‑1709 - Dadoali Korompot, Kristen Katolik
4. 1709‑1710 - Pilips Korompot, Kristen Katolik
5. 1710‑1735 - Piantai Korompot, Kristen Katolik
6. 1735‑1745 - Antogia Korompot, Kristen Katolik
7. 1745‑1770 - Abo Gongala Korompot, Kristen Katolik
8. 1770‑1817 - Abo Welem Dafit Korompot, Islam
9. 1817‑1835 - Teruru Korompot, Islam
10. 1863‑1866 - Abo Tiaha Korompot, Islam
11. 1863‑1866 - Abo Muhammad Nurdin Korompot, Islam
12. 1866‑1898 - Abo Gongala Korompot 2 (Ombuiina Kombitango), Islam
13. 1898‑1908 - Abo Lui Korompot, Islam
14. 1908‑1912 - Abo Mahmud Manoppo Antogia Korompot (Ombuiina Komasigi), Islam
15. 1912‑1913 - Mbuing Papeo (Plh raja)
16. 1913‑1950 - Ram Suit Pontoh, Islam