Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Jenderal Soedirman, Panglima Besar yang Nekat Pimpin Perang saat Sakit Parah

Kisah Inspiratif dari Panglima Besar Jenderal Soedirman Nekat Pimpin Perang saat Sakit Parah

Editor:
tribunjateng
Jenderal Sudirman 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Jenderal Soedirman, Sang Guru yang jadi Panglima Besar: jenderal yang tak sudi dilecehkan.

Minggu, 19 Desember 1948, saat Agresi Militer Belanda II, Kota Yogyakarta yang semula tenang berubah tegang. Suara tembakan dari pesawat Cocor Merah di udara membuat seisi kota panik.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan jasa para pahlawannya. Kisah Jenderal Besar Soedirman sudah sering kali terdengar, namun penuturan langsung dari ajudannya, masih menarik untuk diikuti.

Pasukan Belanda telah memasuki kota dari lapangan udara Maguwo. Sebuah pabrik peniti di Lempuyangan yang dikira markas tentara hancur dibom.

Mantan Ajudan II Panglima Besar Jenderal Soedirman Mayor Purnawirawan Abu Arifin (97) menunjukkan koleksi sejarahnya di kediamannya, Dawuhan Padamara Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. (tribunjateng/khoirul muzaki)
Mantan Ajudan II Panglima Besar Jenderal Soedirman Mayor Purnawirawan Abu Arifin (97) menunjukkan koleksi sejarahnya di kediamannya, Dawuhan Padamara Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. (tribunjateng/khoirul muzaki) (tribunjateng)

Misi utama mereka adalah menangkap hidup-hidup Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta di istana. Serta menangkap hidup atau mati Panglima Besar Jenderal Soedirman yang telah diketahui mereka sedang sakit paru-paru parah.

Panglima Besar Jenderal Soedirman yang saat itu terbaring sakit di kamar rumah dinas di Jalan Bintaran Timur 8, seketika bangkit dengan wajah merah.

Istri Soedirman Siti Alfiah dan dokter pribadi Mayor Suwondo menahan tubuh ringkih Soedirman yang sempoyongan karena memaksa berdiri.

"Panglima marah saat mengetahui pasukan Belanda menyerang kota. Belanda telah berkhianat," kata Ajudan II Jenderal Soedirman Mayor Purnawirawan Abu Arifin, saat ditemui di kediamannya, Padamara Purbalingga, Jumat (6/10).

Menurut kakek yang kini berusia 97 tahun itu, Soedirman tak menggrubis nasihat dokter yang memintanya tenang agar kesehatannya terjaga.

Soedirman terlanjur bersumpah, selama darah masih mengalir, tak ada alasan untuk tidak memberontak penjajah.

Meski semangatnya meledak, Dirman tak mau gegabah bertindak tanpa arahan atasannya, Presiden Soekarno.

Dirman lantas memerintah Ajudan 1 Soepardjo Rustam menghadap Presiden Soekarno agar menurunkan mandat kepadanya untuk menumpas penjajah.

Butuh perjuangan bagi Pardjo menembus jalanan menuju istana karena terus dihujani tembakan dari udara.

Sesampai di istana, upaya Pardjo masuk ke istana digagalkan oleh para pengawal Presiden yang merupakan rekannya sendiri.

Maklum, keselamatan presiden ada di pundak pengawal, sehingga tak sembarang orang boleh menghadap presiden, apalagi dalam kondisi genting saat itu.

Dirman tak sabar menunggu Pardjo yang tak kunjung beri kabar. Ia lalu meminta dipapah menuju mobil dinas untuk menghadap langsung ke Presiden.

Pintu gerbang istana baru dibuka saat mobil dinas panglima memasuki komplek istana.

Presiden sedang mengadakan rapat darurat dengan para pembantunya. Soedirman gagal menemui Soekarno.

Padahal kondisi di luar semakin genting. Serangan pesawat tempur Belanda semakin ganas.

Dirman menyuruh Komandan Kompi I Kapten Cokropranolo alias Nolly pulang ke Bintaran untuk membakar seluruh dokumen di rumah dinas agar tak jatuh ke tangan Belanda. Keluarga Dirman diungsikan ke benteng keraton.

"Setelah itu pak Dirman kembali ke Bintaran dan buat keputusan," katanya.

Jenderal Soedirman akhirnya memutuskan menyingkir dari kota Yogyakarta dan memilih perang gerilya.

Dengan keterbatasan senjata yang dimiliki, gerilya adalah strategi perang yang cukup efektif.

Mereka bisa sembunyi di hutan sambil menunggu kesempatan untuk menyerang tiba-tiba ke musuh, lalu kembali lagi ke hutan untuk menyusun serangan berikutnya.

Dirman yang menumpang mobil sedan buatan Belanda keluar Yogyakarta dikawal puluhan pasukan. Jalur selatan melalui pantai selatan dipilihnya untuk mengawali perjalanan perang.

Rute gerilya disepakati dengan tujuan akhir gunung Wilis Kediri. Di sana, anak buah Soedirman telah menyiapkan markas lengkap dengan pemancar radio.

Melalui pemancar itu, panglima akan mengirimkan komando ke anak buahnya di seluruh tanah air.

Belum jauh melangkah, perjalanan mereka tersendat. Kendaraan mereka tak bisa menyeberang sungai besar dekat pantai Parangtritis. Tiada jembatan penyeberangan.

Mereka lantas meninggalkan kendaraan di tepi muara lalu menyeberang sungai dengan hati-hati.

"Pak Dirman sempat dicek kondisi kesehatannya oleh dokter pribadi. Saat itu kondisinya masih sama saat di Bintaran," katanya.

Lepas dari kendaraan bermesin, Soedirman ditandu oleh beberapa warga yang setia menemaninya gerilya. Sementara pengawal mengiringi penandu dengan menenteng senjata.

Tandu berbahan bambu itu telah dipersiapkan penduduk desa untuk kendaraan alternatif Dirman selama bergerilya. Jika tandu itu rusak, penduduk desa lain telah menyiapkan penggantinya dengan tandu baru.

"Tandunya bukan hanya satu. Jika rusak sudah ada rakyat yang menyediakan lagi," katanya.

Perjalanan pasukan gerilya untuk sampai ke Kediri begitu berat. Selain menghadapi musuh yang setiap saat mengintai, mereka harus berjuang melawan lapar.

Dirman dan pasukannya tidak membawa bekal apapun, kecuali senjata dan pakaian yang melekat di tubuh. Seluruh perlengkapan telah dibakar di Bintaran untuk menghapus jejak.

Apalagi rute gerilya yang dipilih sangat menyusahkan. Jalur selatan melewati Gunung Kidul terkenal tandus. Penduduk yang menghuni wilayah itu sering dilanda kekurangan pangan.

Padahal untuk bertahan hidup, para pasukan ini bergantung dari bantuan rakyat yang mengirim bekal makanan untuk mereka.

Di tengah kondisi penduduk yang kurang pangan, Soedirman dan pasukannya lebih menderita karena sering tak makan hingga berhari-hari.

Jika ada buah-buahan atau binatang yang ditemui di hutan, mereka menyantapya demi bertahan hidup.

"Tentu ada mukjizat dari Allah sehingga kami bisa tetap bertahan hidup dan kuat melawan musuh," katanya.

Panglima Soedirman tetap tegar meski harus melawan cuaca ekstrem yang tak baik bagi kesehatannya. Tantangan lain adalah kondisi hutan yang tak nyaman ditinggali.

Tubuh panglima yang seharusnya diberi asupan gizi khusus, justru harus menahan lapar berkepanjangan. Kondisi kesehatan Soedirman pun terus menurun.

Yang membuat Abu heran, dalam keadaan demikian, Jenderal Soedirman justru menawari anak buahnya untuk pulang ke Yogyakarta jika tidak lagi kuat menanggung ujian.

"Jelas tidak ada yang mengambil tawaran itu untuk kembali ke kota. Kami tetap setia pada panglima sampai mati," katanya.

Meski garang di hadapan musuh, Soedirman mengakui kelemahannya di hadapan Yang Maha Kuasa. Dirman tak pernah absen menjalankan perintah Tuhan meski dalam keadaan darurat sekalipun.

Saat waktu salat di hutan, ia biasa mencari embun yang menempel di dedaunan sebagai media untuk menyucikan diri. Dirman lantas mengkhusyukkan diri menghadap Tuhan dengan posisi duduk karena tak kuasa berdiri.

"Jangan bangga jika anda perang dengan senjata lengkap dan panglima yang bugar. Panglima kami sakit parah, senjata kami kurang, tapi kami pantang mundur lawan penjajah," katanya.

Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, Presiden Soekarno melarangnya. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang.

Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved