Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Liputan Khusus TPA Sampah

Wacana Mega Proyek di Iloilo, Dari Lokasi Pembangunan Kampus hingga TPA

Mulai dari wacana pembangunan Kampus Unsrat dan Unim yang baru hingga pembangunan pabrik daur ulang plastik senilai Rp 1,2 triliun.

Penulis: Ryo_Noor | Editor: Aldi Ponge
TRIBUNMANADO/ANDREAS RUAUW
Pemukiman warga di Kampung Iloilo, Desa Wori Minut yang bakal tergusur untuk dijadikan lokasi TPA regional, Jumat (1/9/2017) 

Laporan Wartawan Tribun Manado Ryo Noor

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Lahan eks Hak Guna Bangunan (HGU) Iloilo, Desa Wori, Minahasa Utara sejak lama menjadi lokasi primadona wacana mega proyek pemerintah.

Mulai dari wacana pembangunan Kampus Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) dan Universitas Negeri Manado (Unima) yang baru hingga pembangunan pabrik daur ulang plastik senilai Rp 1,2 triliun. Namun, wacana beberapa proyek ini tak kunjung terealisasi.

Belakangan Pemerintah menyatakan kesiapan mewujudkan pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional untuk sampah empat daerah yaitu Kota Manado, Kabupaten Minut, Kabupaten Minahasa dan Kota Tomohon.

Merunut ke belakang sejarah Iloilo, mulanya lahan perkebunan kelapa ini berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dengan 192 hektare.

Sempat dikelola Yayasan Gajah Mada, kemudian tahun 1979 pengelolaannya ditangani PT Nyiur Wicaksana.

Tahun 1995 konsesi lahan HGU ini berakhir.  Terlantar lama, muncul permohonan dari warga untuk menempati lahan sekaligus memberdayagunakan lahan tersebut.

Lahan yang awalnya tak berpenghuni ini, akhirnya mulai ditempati warga. Bahkan, saat ini Iloilo sudah menjadi perkampungan. Di antara warga yang sudah menetap di lokasi ini adalah Jongkie Dien.

Tak terasa sudah 16 tahun waktu berlalu, Jongkie Dien menempati lahan Iloilo bersama istri dan anak. Ia menempati rumah sangat sederhana di pemukiman Depsos, yang merupakan bagian lahan Iloilo.

Letaknya di bukit, berjejer rumah‑rumah bantuan untuk korban banjir Manado di zaman pemerintahan Jimmy Rimba Rogi dan Abdi Buchari.

Rumah tinggal setengah dinding beton, setengahnya lagi triplek. Jongkie masih ingat betul upaya warga meminta lahan Iloilo itu untuk pemukiman. Ia satu di antaranya.

Ketika itu warga banyak yang belum punya tempat tinggal, hidup hanya menumpang. Ingin mandiri maka bermohon tanah garapan sekaligus tempat tinggal ke pemerintah. Itu pada tahun 1999. "Warga menyurat ke gubernur dan BPN bahkan sampai unjuk rasa, sampai hearing di DPRD Sulut," ujarnya.

Singkat kata, warga dibolehkn tinggal mengelola lahan itu. Pada tahun 2001 warga menempati lokasi Iloilo.

Baru saja menetap, mengemuka rencana pembangunan kampus Unsrat dan Unima.

Warga mendukung namun dengan syarat pemerintah memberikan lahan pengganti. Apalagi ini kesempatan untuk menggerakan perekonomian masyarakat. Ada kampus bisa buka lapangan pekerjaan.

Belakangan rencana itu hilang bak di telan bumi. Sekitar tahun 2006, pemerintah melakukan relokasi korban banjir. Sebanyak 180 unit rumah dibangun. Pemukiman itu disebut Depsos merujuk nama Departemen Sosial.

Sempat ditempati, unit‑unit rumah itu ditinggalkan. Namun ada juga yang bertahan. Meski air susah, tanpa listrik pula."Listrik baru masuk dua tahun lalu," ujar Jongkie.

Warga pun masih berjuang agar 35 hektare lahan bisa menjadi pemukiman. Ini agar warga juga tak was‑was diusir dari Iloilo.

Apalagi instansi militer seperti kompi kavaleri bisa dapat hibah tanah. Selentingan kabar sekolah kepolisian Negara dapat lahan juga meski akhirnya tak kesampaian.

Menanti tanpa kepastian, hidup warga di Iloilo terus berlanjut. Ada pemukiman, berkembang pula rumah ibadah. Bahkan pemerintah membangun fasilitas jalan hotmix.

Namun sekitar Oktober 2014, warga Iloilo terusik lagi. Pemprov Sulut mengundang masyarakat Wori untuk ikut sosialisasi di Kantor Bappeda, sekarang bernama Bapelitbang.

Jongkie hadir, selain warga diundang juga Camat Wori, dan Sekda Minut ketika itu Johanis Rumambi.Kabar beredar pemerintah rencana bangun Unsrat di Iloilo mengemuka lagi.

Saat paparan ditampilkn lewat alat proyektor  muncul rencana pembangunan tempat pengolahan sampah plastik sekaligus pabrik daur ulang.

Paparannya ketika itu investasi pabrik itu menelan anggaran Rp 1,2 triliun.Dari paparan itu tidak diterangkan kelanjutan nasib warga Iloilo."Tidak tahu mau dikemanakan warga, cuma disampaikan akan disipkan truk angkat barang‑barang warga," kata Jongkie.

Warga pun menolak rencana itu. Selain itu ada juga paparan pembangunan jaringan kereta api dan pembangunan kantor DPRD. "Setelah itu kabar pabrik daur ulang plastik tak kedengaran lagi," kata dia.

Dua tahun berselang, desas desus lahan Iloilo bakal dijadikan TPA terdengar. Disusul sebuah berita yang diperoleh warga lewat media sosial Facebook."Berita yang diperoleh perjanjian membangun TPA Regional. Ada MoU antara Bupati Minut dengan Pemprov Sulut di Kantor Gubernur," kata dia.

Pembangunan TPA makin mendekati kenyataan, saat petugas datang ke Iloilo memantau lokasi sekaligus mengambil sampel air dan tanah.

Berlanjut lagi dari Pemprov Sulut mengadakan sosilisasi di rumah seorang kepala jaga di Iloilo, akhir Juni 2017 lalu."Dari Dinas PU dan Lingkungan hidup hadir," kata dia.

Saat soaialisasi itu warga merespons dengan penolakan. Tak jelas jika TPA dibangun bagaimana nasib warga Iloilo. (riyonoor)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved