Curhat Penambang Tatelu Lolos dari Maut: Melatih Untuk Mati
"Memang musibah beberapa waktu lalu memberikan pelajaran berharga bagi saya, untuk lebih berhati-hati."
Penulis: | Editor: Fransiska_Noel
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Musibah yang dialaminya saat menambang pada Kamis (13/4) lalu memberikan pelajaran berharga bagi dirinya untuk berhati-hati dalam turun menambang, sebab nyawa tak bisa tergantikan oleh apapun.
"Memang musibah beberapa waktu lalu memberikan pelajaran berharga bagi saya, untuk lebih berhati-hati. Syukur alhamdulilah masih selamat," ungkap Ali Sunarya (35), sambil menghela napasnya.
Menurut dia, nantknya akan lebih waspada ketika berada di lubang tambang. Keselamatan harus diutamakan dibandingkan dengan hasil yang diperoleh. "Untuk apa harta kalau nyawa sudah tidak ada," ungkapnya.
Dia kecewa dengan pemberitaan yang dilakukan oleh beberapa media, yang mengabarkan pada musibah tersebut ada dua penambang yang tewas.
Padahal seluruhnya selamat. Hal ini membuat keluarganya di Tasikmalaya menjadi cemas.
Meskipun dia telah memberitahukan kondisinya baik-baik saja. Namun anaknya tak mempercayai dan menyuruhnya untuk pulang dulu.
"Makanya saya mau pulang dulu, mungkin sehabis Idul Fitri baru datang lagi," katanya.
Sebelum di menambang di Desa Tatelu Kecamatan Dimembe Minahasa Utara, pria yang mengaku telah mulai menambang di sejak kelas 6 SD ini, telah melakukannya diberbagai daerah di Indonesia. "Pertama saya ikut sama paman di Wonogiri Jawa Tengah. Dari paman saya memiliki keahlian menambang," katanya.
Kemudian setelah itu pindah ke Padang, Bangka Belitung, Aceh, Bogor, Kalimantan dan saat ini di Manado. Berbagai suka dan duka telah dirasakannya dalam menambang. "Rasa sukanya pada saat mendapatkan emas," ungkapnya.
Sedangkan dukanya, ketika menggali lubang, meskipun telah berpuluh meter, namun tak memiliki hasil.
Seperti ketika menambang di Pongkor Kabupaten Bogor. Meski telah menggali hingga puluhan meter, namun tak ada emas yang dihasilkannya.
Sehingga perbekalan pun memang habis sama sekali. Untuk makan sehari-hari hanya singkong dan ubi saja.
Sehingga setelah empat bulan, akhirnya diputuskan untuk pulang ke kampung halaman karena perbekalan telah habis.
"Ketika itu saya pulang Tasikmalaya saja berbekal surat dari kantor polisi, karena uang sudah habis sama sekali," tuturnya.
Begitu pula ketika ke Kalimantan untuk kedua kalinya, ketika sudah dalam menggali tak mendapatkan hasil, sehingga pada saat itu juga gagal mendapatkan emas, sehingga kembali lagi ke kampung halaman.
"Waktu itu untuk pulang saya dikasih sama teman, yang ketika itu teman saya lubangnya terdapat banyak emas," ungkapnya.
Sedangkan untuk di Manado menurut dia, hanya menggali saja, dengan dibayar upah Rp 55.000 per karung. Bersama dengan 20 temannya per hari bisa sampai 30 karung. Namun jika batuannya keras, per hari hanya sekitar 15 karung saja.
"Saya tidak tahu di dalamnya ada emas atau tidak, yang jelas dibayarnya per karung," katanya.
Namun per bulan pendapatannya bisa dirata-ratakan sekitar Rp 3.500.000-Rp 4.000.000.
Jumlah tersebut disyukurinya, karena bisa untuk mengirimkan kepada keluarganya di Tasikmalaya Rp1.000.000-Rp2.000.000 per bulan. Sedangkan sisanya untuk biaya sehari-hari di tambang.
Saat ini dirinya merasa bersyukur berada di Manado, sebab untuk datang dan pulang, biayanya ditanggung oleh pemilik tambang.
Begitu juga ketika sakit atau keluarga sakit ditanggung oleh pemilik tambang. "Jadi, bekerja disini tenang," katanya.
Untuk bekerja menurut dia, terdiri dari dua sif, yaitu pagi dari pukul 8.00-15.00 Wita dan malam pukul 20.00-2.00 Wita.
"Setiap hari saya selalu menelepon keluarga di rumah, sekedar melepas rindu sama istri dan anak," tuturnya.
Dia tak tahu sampai kapan akan menjadi penambang, meski pekerjaanya saat ini risikonya cukup tinggi.
Sebab kemilau emas belum pernah dirasakannya. Pekerjaannya saat ini hanya cukup untuk menghidupi keluarganya sehari-hari.
"Memang ada tan saya yang kaya raya dari hasil tambang, bisa membeli segalanya. Namun kalau saya hanya untuk makan dan sekolahkan anak saja," katanya.
Untuk beralih ke profesi lain, belum pernah terpikirkan olehnya, karena keahliannya hanya ditambang. Meskipun menjadi penambang sepertinya istilahnya "melatih untuk mati".
"Dikampung saya juga susah mencari pekerjaan, jadi mau bagaimana lagi. Yang penting pekerjaan ini halal," katanya.(erv)
