Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Gantikan Peran Suami, Yenny Sering Panjat Pohon Seho

Terlahir di Desa Talaitad Utara, Kecamatan Sulta, Kabupaten Minahasa Selatan membuat Yenny Dapu (43).

Penulis: | Editor: Lodie_Tombeg
zoom-inlihat foto Gantikan Peran Suami, Yenny Sering Panjat Pohon Seho
tribun manado
Yenny Dapu memanjat pohon seho untuk mengambil air nira.

TRIBUNMANADO.CO.ID, AMURANG - Terlahir di Desa Talaitad Utara, Kecamatan Sulta, Kabupaten Minahasa Selatan membuat Yenny Dapu (43) menjadi familiar dengan berbagai produk olahan desa seperti Cap Tikus.

Sejak kecil dia sudah melihat dan menyaksikan langsung bagaimana para petani Cap Tikus memanjat pohon seho (aren) untuk dijadikan produk olahan rumah tangga serta dijual demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Mental keberaniannya pun dipupuk hingga dewasa. Meski sudah menjadi ibu rumah tangga terkadang Yenny mengambil alih pekerjaan suaminya yang juga adalah petani Cap Tikus. Padahal pekerjaan tersebut bisa dibilang tidak mudah dan sulit dilakukan kaum hawa.
Proses pembuatan Cap Tikus, yaitu dengan memanjat pohon seho yang cukup tinggi.

"Pernah saat suami sakit, saya membantu batifar (sadap air nira). Mau tidak mau harus dilakukan karena untuk membiayai kebutuhan keluarga. Sebelumnya saya mengamati bagaimana proses pembuatan Cap Tikus. Lalu saya berlatih memanjat pohon seho muda yang tidak terlalu tinggi," kisahnya.

Dia mengaku tidak takut harus memanjat pohon dengan ketinggian lebih dari 10 meter tanpa menggunakan perlatan keselamatan.

"Cara memanjat dibantu menggunakan bulu panjang yang sudah dilubangi untuk tempat kaki dan diikatkan pada pohon. Sedangkan tangan berpegangan kuat pada daun pohon," katanya. Hampir beberapa bulan pekerjaan ini dilakukannya sementara bertepatan dengan keberangkatan sang suami ke luar daerah.

Lebih jauh dia mengatakan, tidak ada kesulitan yang berarti dalam melakukan pekerjaan tersebut. "Jika memanjat, ada suami atau teman yang memantau dari bawah. Yang saya takut hanyalah lebah yang seringkali membuat sarang di pohon. Jika ada lebah saya langsung turun," ujarnya.

Dia mengungkapkan, sejak menimang cucu, sudah tidak pernah memanjat pohon seho. "Terakhir kali manjat empat tahun lalu. Sekarang sudah tidak karena merawat cucu. Namun jika dalam keadaan terpaksa, saya akan bekerja lagi," terang ibu yang memiliki tiga anak ini.

Lanjut Yenny, uang hasil penjualan produk Cap Tikus sangat membantu menghidupi keluarganya termasuk biaya pendidikan.

"Anak saya yang sulung sudah kuliah, sedangkan dua lainnya masih menimba ilmu ditingkat SMP dan SMA. Biar orangtuanya saja yang bekerja menjadi petani cap tikus. Mereka harus lanjutkan sekolah demi cita-cita mereka," tuturnya.

Eldridge Pomamtow, sang suami mengaku sebenarnya tak tega apabila melihat sang istri melakukan pekerjaannya. "Saya sempat tidak mengijinkannya untuk memanjat. Namun dia meyakinkan saya, sambil meminta mengawasi dari bawah," katanya.

Anneka Tumbol, Ketua Tim PKK, Desa Talaitad Utara mengatakan, perkebunan pohon seho di desanya memang memiliki area yang lebih luas dibanding perkebunan lainnya. "Ibu-ibu di desa ini memiliki keberanian untuk naik pohon seho. Karena perkebunan pohon seho di desa ini sangat luas, dan mental mereka sudah terbentuk sejak kecil," ujarnya.

Selain itu, tuntutan hidup dan meningkatkan perekonomian keluarga juga menjadi latar belakang mereka melakukan pekerjaan yang sebagian besar dilakukan laki-laki.

"Dari dulu desa kami memang terkenal memproduksi Cap Tikus sebagai obat untuk mengobati berbagai penyakit. Karena memiliki khasiat yang bagus untuk memelihara kesehatan," ujarnya. *

STORY HIGHLIGHTS
* Tidak takut harus memanjat pohon dengan ketinggian lebih dari 10 meter tanpa menggunakan perlatan keselamatan
* Hampir beberapa bulan pekerjaan ini dilakukannya sementara bertepatan dengan keberangkatan sang suami ke luar daerah

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved