Siar Sukari Tetap Jaga Perkebunan Kopi Warisan Kakeknya
Siar Sukari (53) warga Desa Purworejo Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) ingin tetap menjaga perkebunan kopi yang diwariskan kakeknya.
Penulis: Aldi Ponge | Editor: Andrew_Pattymahu
TRIBUNMNADO.CO.ID, TUTUYAN-Siar Sukari (53) warga Desa Purworejo Timur Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) ingin tetap menjaga perkebunan kopi yang diwariskan kakeknya.
Siar mengatakan sepuluh tahun terakhir lahan perkebunan kopi di Modayag semakin berkurang. Petani mengalihkan menjadi lahan persawahan dan kebun hortiktura.
"Banyak petani yang sudah alihfungsi lahan kopi. Menurut mereka menjadi petani kopi tak menjamin hidup," ungkapnya pada Minggu (26/3).
Selain harga beberapa tahun anjlok, proses menunggu masa panen yang lama pun menjadi pemicu alihfungsi lahan tersebut.
"Padahal kopi disini terkenal sejak zaman (penjajahan) Belanda. Bahkan perkebunan kopi disini terbesar di Sulut," ungkapnya.
Kendati godaan untuk alihfungsi menjadi kebun hortikultura terus datang. Namun, Ia tetap bertekad untuk menjaga tanah warisan leluhurnya.
"Saya tak akan jual atau alihfungsi. Ini warisan leluhur dan bersejarah. Kakek nenek kami dipindahkan penjajah dari Jawa untuk kerja di kebun kopi di sini," terangnya.
Baginya menanam kopi tidak sulit. Pohon kopi hanya perlu dilakukan pemangkasan dahan muda agar dapat berbuah. Kebun sesekali harus dibersihkan.
"Bahkan kebun banyak rumput pun, kopi tetap berbuah. Hanya masa panennya harus sembilan bulan. Apabila dipelihara baik akan berbuah terus menerus," jelasnya.
Dia meminta pemerintah menjaga stabilitas harga kopi. Selain itu, dia meminta pabrik kopi beroperasi di Boltim.
"Harganya mulai naik menjadi Rp 24 ribu per kilogram, hanya masih harus dijual ke Kotamobagu. Tak ada pabrik pengolahan kopi di Boltim," ungkapnya.
Berbeda dengannya, Rukiman (36) warga Purworejo mengaku tergiur penghasilan petani hortikultura. Ia dan kakaknya terpaksa melakukan alihfungsi kebun kopi seluas hampir satu hektare.
"Pertama dijadikan persawahaan, dua tahun lalu jadi perkebunan sayuran dan bumbu dapur," ungkapnya.
Dia tak perlu menunggu lama karena bisa panen setiap tiga bulan.
"Harganya sayuran, tomat dan cabai memang naik turun. Namun tetap ada untung," jelasnya.
Tetua Desa Purworejo Bersatu, Boimen Sukiran (70) menceritakan, sekitar 30 kepala keluarga asal Jawa untuk pertama kalinya diangkut penjajah Belanda ke wilayah itu.
Mereka dipaksa bekerja di kebun kopi dengan gaji rendah. "Pekerja diangkut pada 1912 hingga 1916 . Pekerja umumnya dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Generasi pertama penghuni perkebunan budidaya kopi ini tak ada lagi. Namun generasi ketiga dan keempat tetap bertahan di tanah Totabuan tersebut.
Kini telah menjadi tujuh desa dengan penduduk lebih dari lima ribu jiwa. "Kami harus berjuang puluhan tahun agar tanah ini menjadi hak milik. Sayang kebun kopi terus berkurang, mungkin beberapa tahun lagi akan habis," ungkapnya.
Data dinas pertanian Boltim menyebutkan luas lahan kopi pada 2014 mencapai Rp 2.404,99 hektare. Luas ini berkurang pada 2015 menjadi 2.354,99 hektare.
"Setiap tahun kebun kopi diperkirakan berkurang sekitar 20 hektare," ungkap Kepala bidang peternakan dan perkebunan, Dinas pertanian Boltim, Kusno Mamonto.
Pemda pun melakukan upaya agar lahan kopi tak berkurang termasuk memberikan bantuan sambung pucuk.
"Upaya sambung pucuk agar kopi cepat berbuah. Sudah mulai banyak petani menanam baru dan melakukan sambung pucuk," jelasnya. (Ald).