Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Renungan Minggu

Roh Kudus Membangkitkan Kekuatan

Apa yang disyukuri? Karena Paulus melihat pengalamannya itu sebagai bukti bahwa ia melayani Allah dengan hati nurani yang murni.

Penulis: | Editor:
NET
Ilustrasi 

TRIBUNMANADI.CO.ID - Sungguh ironis! Surat dari "Seorang hukuman yang sedang terpenjara di Roma" (ayat 8, 16; 17: 2:9) dimulaikan dengan ucapan syukur. Ia dianggap sebagai penjahat (2:9), malah terancam hukum mati (4:6) serta kesepian karena ditinggalkan teman‑temannya kecuali Lukas (4: 10, 11, 16). Tetapi ia masih juga bersyukur.

Apa yang disyukuri? Karena Paulus melihat pengalamannya itu sebagai bukti bahwa ia melayani Allah dengan hati nurani yang murni.

Oleh karena itu dengan berani hati ia bersaksi meski harus menghadapi resiko dianggap sebagai penjahat dan di tinggalkan teman‑temannya. Di sini bukan persoalan berani atau takut untuk menanggung risiko, seperti kebiasaan para petualang. Melainkan persoalan kemurnian hati untuk melayani Allah. Inilah sumber dari keberanian itu. 

Mungkin kita segera tergoda untuk bertanya, bagaimana hingga Paulus mampu melayani Allah dengan hati nurani yang murni itu? Jawaban atas pertanyaan inilah yang terkandung dalam nasehat Paulus kepada Timotius.

Paulus menulis surat ini dengan harapan ia bisa bertemu dengan Timotius. Namun kerinduan itu bercampur kecemasan jangan‑jangan Timotius, seperti teman‑temannya yang lain, terpengaruh oleh kesulitan yang dihadapi Paulus  lantaran memberitakan injil Yesus Kristus.

Kecemasan itu mencuat dalam peringatan Paulus agar Timotius mengobarkan karunia Allah, tidak takut dan tidak malu bersaksi tentang Tuhan. Karena itu, Paulus mengingatkan Timotius akan "imanmu yang tulus iklas", yang ternyata bertumbuh melalui pendidikan agama dalam keluarga, seperti pengalaman baik Paulus maupun Timotius sendiri (ayat 3 dan 5). Iman yang tulus ikhlas, menurut Paulus dalam surat sebelumnya (I Tim. 1 : 5), terwujud dalam kasih yang timbul dari hati yang suci dan hati nurani yang murni.

Dengan demikian, apa yang dimaksudkan oleh Paulus dengan "melayani dengan hati nurani yang murni" merupakan bukti dari kasih yang bersumber dari iman yang tulus ikhlas.

Berdasarkan iman yang tulus ikhlas itu, Paulus selanjutnya mengingatkan agar Timotius mengobarkan karunia Allah (ayat 6). Dari surat Paulus kepada jemaat Korintus kita ketahui bahwa karunia Allah itu pada hakekatnya sama dengan karunia Roh (I Kor. 12 : 1).

Sebab ungkapan "oleh penumpangan tangan" menunjuk pada pemberkatan dengan menumpangkan tangan untuk menerima Roh Kudus (band. Kis. 8 : 17).

Setidaknya ada dua hal yang hendak dikemukakan mengenai hubungan antara iman dan Roh kudus.

Pertama, bahwa Roh kudus dikaruniakan kepada mereka yang sungguh‑sungguh memiliki iman yang tulus ikhlas.

Kedua, bahwa memudarnya karunia Allah atau karunia Roh itu disebabkan oleh memudarnya iman.

Tanda dari pudarnya iman adalah adanya ketakutan. Deilos atau ketakutan yang dipakai dalam bacaan ini juga dipakai oleh penginjil Matius (8 : 26) dan Markus (4 : 40) untuk melukiskan ketakutan para murid ketika perahu mereka diterpa badai.

Yesus mencap ketakutan itu karena mereka tidak percaya. Penulis kitab Wahyu (21 : 8) juga menyamakan orang yang tidak percaya sebagai penakut yang akan mengalami kebinasaan.

Sebaliknya iman yang tulus ikhlas berarti meyerahkan diri untuk dikuasai oleh Roh Kudus yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.

Kekuatan atau kuasa (dunamis) adalah kuasa Roh yang menuntun Yesus untuk melakukan pekerjaanNya, mengajar, berbuat baik dan menyembuhkan orang (Lukas 4 : 14 ; Kis. 10 : 38).

Kuasa itu pula, menurut Paulus, memberikan penghargaan yang berlimpah‑limpah kepada orang yang percaya (Roma 15 : 13).

Kuasa yang sama pula yang mengilhami perkataan dan pemberitaan Paulus sehingga ia melakukan pelayanannya bukan berdasarkan hikmat manusia (I Kor. 2 : 4).

Di atas sudah disinggung bahwa "melayani dengan hati nurani yang murni" merupakan bukti dari kasih yang bersumber dari iman yang tulus ikhlas. Sehingga kasih sebagai kasih sebagai karunia Roh berarti kesediaan dan kerelaan untuk melayani dengan hati nurani yang murni.

Ukuran kemurnian bukanlah berdasarkan pada motif manusia, melainkan pada dorongan Roh, dorongan untuk mengabdi dan melayani kepada Allah. Kuasa kasih juga berarti melayani orang lain untuk kepentingan orang itu dan bukan kepentingan dari yang melayani.

Ciri ketiga orang yang dikuasai Roh adalah ketertiban. Istilah ketertiban dapat juga diterjemahkan dengan ketaatan atau disiplin. Ketaatan tentu bukan pada kemauan diri sendiri, tetapi ketaatan pada panggilan dan kehendak Allah.

Disiplin yang menandai kehidupan yang tertib bukanlah disiplin yang berdasarkan kemauan manusia, melainkan kesediaan untuk menjadi murid Tuhan.

Jika ketiga  sifat pemberian Roh tadi sungguh‑sungguh menguasai Timotius maka tidak ada alasan untuk merasa malu atau takut bersaksi. Sebaliknya, demi Injil, ia akan rela menderita, rela menanggung resiko apapun.

Orang yang dikuasai oleh Roh Kudus akan melihat hidupnya serta semua kemampuan, potensi, kedudukan, jabatan dan fungsinya dalam rangka memenuhi panggilan yang kudus untuk bersaksi tentang Injil Allah, yang di dalam Yesus Kristus telah mematahkan kuasa maut.

Panggilan itu bukan karena kemampuan dan kepintaran manusia, melainkan kasih karunia Allah, karena kepercayaan yang diberikan oleh Allah.

Ada kalangan yang menengarai bahwa gereja/jemaat di Indonesia yang terperangkap dalam ketakutan untuk bersaksi, bersekutu dan melayani dengan nyata. Karena lebih mengutamakan upaya untuk menjaga eksistensi lembaga gereja.

Pada pihak lain, ada yang mengatakan bahwa itu bukan gejala ketakutan, melainkan kebijaksanaan. Sebab, demikian mereka memberi alasan, bagaimana lagi Gereja bisa memberitakan Injil jika eksistensinya sebagai lembaga tidak diakui di negara ini?

Belajar dari bagian Alkitab ini, marilah kita periksa kembali apakah memang yang sedang berlangsung itu adalah gejala ketakutan? Ketakutan mengenai apakah itu?

Kalau memang hal itu merupakan langkah yang bijaksana untuk bisa tetap eksis demi memberitakan Injil, adakah kebijaksanaan itu didasarkan pada kekuatan Roh Kudus? Ataukah semata‑mata hanya merupakan kebijaksanaan berdasarkan roh zaman?

Sejauh mana pula kita bisa mengatakan bahwa kebijaksanaan itu adalah buah dari pekerjaan Roh Kudus bila diukur dari segi kasih dan ketertiban?

Di kutub yang lain kita melihat ada gereja atau kelompok orang Kristen yang dengan berani melakukan kegiatan penginjilan.

Tetapi, kemudian langkah yang penuh keberanian itu menimbulkan antipati dan kebencian dari orang lain, hingga timbul tindakan‑tindakan SARA.

Ada kalangan yang menilai keadaan itu sebagai wajar karena itulah risiko dari keberanian untuk memberitakan Injil.

Pertanyaan kritis yang patut kita kemukakan adalah apakah keberanian itu didasarkan pada kuasa Roh yang menyembuhkan dan berbuat baik bagi orang lain, atau oleh kuasa untuk menaklukkan/mengalahkan/mendominasi ornag lain?

Masih bisakah kita berbicara tentang kasih dan ketertiban di tengah kekacauan yang kita timbulkan oleh kegiatan yang diberi merek penginjilan itu?

Rentetan pertanyaan kritis di atas selanjutnya mengantar  kita pada suatu kebutuhan untuk menilai, membarui atau mengembangkan strategi keesaan, kesaksian dan pelayanan Gereja  yang sungguh mencerminkan buah‑buah Roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.

Tugas keesaan bagaimanakah yang perlu mendapatkan perhatian dari gereja‑gereja untuk memupuk dan memelihara pertumbuhan iman yang tulus ikhlas di antara warga gereja?

Upaya ini sangat diperlukan karena ternyata kesediaan untuk melayani Allah yang didorong oleh kuasa Roh Kudus bersumber dari iman yang tulus ikhlas.

Selanjutnya bentuk kesaksian dan pelayanan yang bagaimanakah yang didasarkan kuasa, kasih dan ketaatan pada Roh Kudus? Salam dan doa. (*/Pdt Dr Nico Gara MA)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved