Ketika Bentor 'Menguasai' Kotamobagu
PADA tahun 2000‑an di Kota Kotamobagu belum banyak alat transportasi. Memang sudah ada mikrolet juga bendi.
Penulis: Handhika Dawangi | Editor:
TRIBUNMANADO.CO.ID, KOTAMOBAGU - PADA tahun 2000‑an di Kota Kotamobagu belum banyak alat transportasi. Memang sudah ada mikrolet juga bendi. Namun bentor menjadi pilihan utama masyarakat karena bisa melewati semua jalan hingga ke lorong‑lorong.
Menurut sejumlah warga, bentor dulu pertama kali dibawa oleh beberapa orang dari Gorontalo. Awalnya hanya beberapa yang beroperasi. Karena menarik perhatian sejumlah warga asli Kota Kotamobagu mencoba meniru dan membuat bentor.
Sepeda motor yang semula hanya untuk keperluan pribadi dibawa ke bengkel dan diubah bentuknya untuk menjadi alat transportasi umum. Tempat duduk ditambahkan pada bagian depan dengan atap dan dinding kaca.
"Bentor saat itu menjadi mata pencaharian bagi banyak warga. Sebagian besar dari profesi petani. Kemudian karena lebih menjanjikan pendapatannya, tanah dijual dan uangnya untuk membuat bentor. Sekarang bentor jadi daya tarik wisata di Kotamobagu. Ada pula yang mengambil kredit di bank untuk membuat bentor," ujar Gulimat Mokoginta (54), warga Biga yang dulunya sering naik bentor.
Gulimat mengatakan bentor dulunya hingga saat ini sangat membantu. Saat kendaraan pribadi ada masalah di jalan, bentor selalu siap mengantar.
"Saya waktu itu staf di Bappeda. Kalau motor macet saya sering naik bentor. Selain itu, bentor sangat membantu masyarakat membawa barang dari pasar atau satu tempat tertentu hingga ke rumah melalui lorong sempit sekalipun," ujarnya.
Untuk usaha, bentor banyak dipilih sejumlah orang. Hardi Mokodompit, satu di antaranya warga Kelurahan Mogolaing, pada tahun 2000‑an punya enam bentor.
"Saya kredit enam sepeda motor merek Cina yaitu Zhonsen hanya untuk dibuat bentor. Harganya di bawah Rp 10 juta. Saya tertarik pada waktu itu, karena belum ada angkutan lain yang bisa bersaing dengan bentor," terang dia.
Tarif bentor dulu satu kali mengantar berkisar antara Rp 500 sampai Rp 1000. "Kadang‑kadang ada perjanjian antara sopir dan penumpang. Karena tidak hanya di sekitaran Kota Kotamobagu melainkan bentor menjadi alat untuk mengantar orang sampai ke luar Kota Kotamobagu, ke Inobonto, Bolmong, misalnya," ujar dia.
Sekitar tiga tahun Hardi mengoperasikan enam bentor untuk mata pencaharian. "Orang yang kerja dengan saya setiap hari menyetor Rp 50 ribu. Dengan demikian saya bisa membiayai beberapa keperluan hidup keluarga," ujarnya.
Setelah tiga tahun, enam bentornya perlahan‑lahan menjadi tak bernilai usaha baginya. Hardi pun memberikan kepada kerabat.
"Karena lama kelamaan bentor mulai banyak maka persaingan semakin ketat. Sampai sekarang saya lihat bentor itu masih ada," ujar Kadis Pertanian dan Perikanan Kotamobagu ini.
Menurut dia, saat ini bentor sudah menjadi mata pencaharian sejumlah warga Kotamobagu. "Bentor sudah dijadikan mata pencarian favorit. Pada bidang sosial tenaga kerja, bentor sudah menjadi ketergantungan," ujar dia.(handhikadawangi)