Tribun Manado History
Rumah Adat Bolaang Mongondow, Hilang akibat Trauma Perang Saudara
DULU strata sosial kehidupan di suku Mongondow dapat diketahui dari bentuk rumah warga.
Penulis: Maickel Karundeng | Editor:
Laporan wartawan Tribun Manado Maickel Karundeng
TRIBUNMANADO.CO.ID, LOLAK - DULU strata sosial kehidupan di suku Mongondow dapat diketahui dari bentuk rumah warga. Ada rumah untuk raja yang disebut komalik, ada juga rumah bagi kalangan rakyat yang disebut silidan. Ada juga yang disebut bontean, yakni rumah yang menjadi tempat masyarakat bertemu atau aktivitas bersama.
Umumnya rumah-rumah adat suku Mongondow berupa rumah panggung yang sebagian besar berbahan kayu. Namun, kini sudah sangat jarang rumah-rumah adat ditemukan di Bolaang Mongondow raya. Tinggal beberapa unit saja yang masih terjaga di Kota Kotamobagu, seperti di Kopandakan dan Kotobangon.
Chairun Mokoginta, Ketua Lembaga Warisan Budaya Bolaang Mongondow Raya dan Ketua Forum Pembauran Bolmong, mengatakan, pada zaman dulu, anak gadis yang beranjak dewasa atau beralih dari remaja ke pemuda harus menjalani tuntutan adat, yakni tinggal di rumah bagian atas selama 40 hari. "Ia tidak bisa menyentuh tanah," kata dia.
Jika ingin mandi dan sebagainya, sang gadis harus digendong ke tempat pemandian khusus. Proses ini tidak sembarangan dilaksanakan dan tempatnya harus dilakukan di rumah adat, sesuai petunjuk para tetua adat.
Selama proses 'pingit' itu, sang gadis dibekali pengetahuan menenun atau keterampilan lainnya, terutama yang berhubungan dengan kekuatan magis, dalam hal ini pengobatan penyakit dan sebagainya.
Abo Tadohe yang berkuasa antara tahun 1660-1670 memerintahkan warganya membangun rumah. Menurut Mokoginta, sebelum generasi kerajaan yang dipimpimpin Raja Manoppo itu, Abo Tadohe memerintahkan warganya membangun rumah sendiri-sendiri.
Ada ketentuan yang harus dipatuhi. Selain aturan soal bentuk rumah, ketentuan lainnya adalah letaknya yang harus saling berhadapan. Di antara rumah yang berhadap-hadapan itu kemudian dibuat menjadi jalan umum.
Pembangunan rumah adat terus dilakukan di setiap generasi. Bila ada yang rusak, langsung diperbaiki. Tradisi itu mulai terhenti ketika terjadi gerakan Permesta.
Sepanjang 1957 hingga 1959 banyak rumah warga yang dibakar. "Saat itu terjadi kesalahpahaman, makanya terjadi perang saudara. Hampir semua rumah-rumah adat Bolmong dibakar," ujarnya.
Seusai Permesta, masyarakat di Bolaang Mongondow mulai kembali membangun rumah. Namun, bentuknya tidak lagi seperti rumah adat. Banyak yang membangun rumah mengikuti zaman yang mulai modern.
"Karena trauma terjadi pembakaran atas rumah-rumah adat yang terbuat dari kayu, masyarakat membangun secara modern," ungkapnya.
Kini sudah tidak ada lagi masyarakat membangun rumah adat. "Saat ini hanya tersisa beberapa rumah adat yang masih berdiri di antaranya di Kopandakan II. Itu pun hanya rumah masyarakat biasa," tuturnya.
Keluarga Rosnani Datundugon di Desa Kopandakan II, Bolmong, yang masih menjaga rumah adatnya sampai saat ini.
Kepada Tribun Manado, ia mengatakan, rumah itu dibuat oleh kakeknya, Ponni Datundugon, pada 1920. Rumah itu kemudian ia warisi dari orangtuanya
Rumah ini sebagian besar berbahan kayu kelas dua atau cempaka. Atapnya sudah tergantikan dengan seng. Dulu rumah itu beratap daun nipa atau kayu yang dalam bahasan Mongondow disebut kayu uyu atau adow (cempaka).
"Posisi tiang raja mengarah timur," kata dia.
Teriring Ritual Adat
MEMBANGUN rumah adat di Mongondow harus disertai dengan ritual adat. Pemotongan kayu, misalnya.
Sebelum dipotong, pohon kayu tersebut harus dikelilingi sebanyak tujuh kali dan menggunakan alat sambil mencoba seakan-akan menebang pohon tapi tidak bisa disentuh dulu karena sedang dalam proses ritual. Dalam hal ini, sang penebang meminta izin karena ingin menebang pohon saat itu agar tidak terjadi gangguan atau masalah.
Aturan lainnya, kayu tidak bisa ditebang saat bulan purnama atau bulan terang, tapi saat bulan gelap.
Selanjutnya, tiang penyangga (utung) terlebih dahulu berdiri. Tapi secara ritual, tiang penyangga harus dibopong oleh masyarakat dari hutan menuju lokasi pembangunan rumah adat. Rumah dibangun secara gotong royong berdasarkan ketersedian bahan pembangunan.
Setelah itu juga ada ritual peletakan batu pertama, yakni ada tokoh adat meletakkan batu pada tiang penyangga.
Ketika rumah sudah berdiri, harus dilakukan ritual lagi yakni monuntul, juga selama tiga hari berturut-turut sambil memasang lentera. Saat itu harus pula diperhatikan selama berada di rumah jika terjadi gangguan-gangguan dari hewan atau lainnya.
"Tanggal yang ditetapkan menaiki rumah baru harus di rumah sambil menunggu suasana hati dan mengulang kembali ritual adat selama tiga malam berturut-turut. Jika sudah tenang serta tidak terjadi apa-apa maka sudah bisa ditinggali," kata Mokoginta.
Adapun pahatan-pahatan yang berada di rumah-rumah adat seperti melingkar di bagian tirisan rumah merupakan simbol penjemputan tamu.