Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pilkada Jakarta

Golput, Sikap Kritis Masyarakat atau DPT Bermasalah?

Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta mencatat, warga Jakarta yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam putaran pertama Pilkada

Editor: Andrew_Pattymahu
TRIBUNMANADO.CO.ID- Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta mencatat, warga Jakarta yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam putaran pertama Pilkada 11 Juli lalu 36,7  persen. Angka ini meningkat 0,71 persen dibandingkan dengan  2007 yang tercatat 35,99 persen. Pertanyaannya, apa yang melatarbelakangi mereka tidak menggunakan hak pilihnya atau golput?

Deny Iskandar, salah seorang anggota tim sukses pasangan Jokowi-Ahok, menilai, masalah golput yang mewarnai Pilkada DKI Jakarta terjadi tak lepas dari bermasalahnya daftar pemilih tetap (DPT). Ia yakin sepanjang DPT tidak diperbaiki, angka golput masih akan tinggi pada putaran kedua nanti.

"Golput tinggi itu karena masalah DPT. Banyak warga yang terdaftar ganda tidak bisa memilih. Ada juga warga DKI yang tidak terdaftar di DPT, jadi tidak bisa memilih," kata Iskandar dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (22/7/2012).

Ia berharap masalah DPT segera diselesaikan sebelum putaran kedua berlangsung. "Kami inginnya DPT itu diperbaiki dulu, setelah bersih, baru kita gelar putaran kedua. Saya ingin kembalikan hak warga yang tercabut karena masalah DPT," ungkap Deny.

Ia menambahkan, selain soal DPT, golput juga terjadi karena ulah oknum birokrasi yang sengaja menghalangi-halangi hak pilih warga. "Kita, kan, dapati kasusnya di Jakarta Barat, ada lurah yang sengaja menghilangkan hak pilih warga," ungkapnya.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua Pokja Sosialisasi Pemungutan dan Penghitungan Suara KPUD DKI Jakarta, Sumarno, berpendapat berbeda. Menurut dia, golput merupakan sikap politik kritis masyarakat Jakarta yang apatis terhadap proses demokrasi.

Menurut dia, sikap kritis masyarakat itu bisa berupa penilaian terhadap para cagub dan cawagub yang dianggap tidak kapabel memberikan perubahan. Atau, mereka menganggap penyelenggara pemerintah tidak kredibel, korup, serta tidak percaya pada pemerintah. Karena itu, menurut Sumarno, tidak ada korelasinya antara besarnya angka golput dan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh KPU DKI.

Ia menambahkan, mereka yang memilih golput tentu tahu waktu pelaksanaan pilkada. "Golput itu, kan, fenomena biasa masyarakat perkotaan yang memang cukup kritis menilai sesuatu, bukan karena mereka tidak tahu kapan pelaksanaan pilgub. Kalaupun ada yang golput karena tidak tahu, itu pasti sangat kecil angkanya," ujarnya.

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved