Hari Kartini
Kudati: Hidup dari Sampah
Sebagian besar pekerja di TPA adalah wanita
Berdasarkan pantauan Tribun Manado, Jumat (20/4), sebagian besar pekerja di TPA adalah wanita. Dengan penampilan yang kotor, sambil membawa karung, mereka disibukkan dengan mengais sampah-sampah busuk, untuk mencari sampah plastik dan makanan ternak yang bisa dijual.
Meskipun bekerja di tempat yang kotor, tetapi wajah mereka tetap tersenyum. Sementara mengais sampah, dapat diamati mereka juga sering bercanda satu dengan yang lain, yang membuat suasananya terasa lebih akrab dan penuh canda tawa.
Tina Kudati, pemulung di TPA Sumompo, mengatakan, meskipun hanya bekerja sebagai pemulung, tetapi ia bisa hidup dan menyekolahkan anak-anaknya melalui penghasilannya yaitu dari sampah.
"Saya hidup dari sampah, meskipun banyak orang merasa risih dengan pekerjaan ini, namun bagi saya dengan adanya sampah, saya bisa bertahan hidup sampai saat ini dan bisa menyekolahkan anak hanya dari hasil mengais sampah, " ujarnya
Ibu dari dua anak ini, mengatakan, setelah suaminya meninggal, menuntutnya untuk lebih rajin bekerja agar anak-anaknya bisa sekolah.
"Suami saya meninggal pada 2007 lalu, sehingga saya harus mencari sampah yang bisa dijual, dan itu saya lakukan setiap hari, yaitu pada pagi sampai malam hari. Perjuangan saya memberikan hasil yang baik karena kedua anak saya bisa sekolah sampai saat ini, " ujar wanita kelahiran Manado, 2 Agustus 1968.
Tina mengatakan, pada zaman sekarang ini, sudah tidak mengenal pria atau wanita, karena semuanya sudah dianggap sama. Pekerjaan apapun itu akan ia lakukan, karena baginya yang penting pekerjaan itu benar dan tidak merugikan orang lain.
"Dengan banyaknya kasus trafficking, sebagai wanita kita seharusnya belajar memilih pekerjaan yang benar. Sebenarnya masih banyak lapangan pekerjaan yang baik, asalkan kita melakukan dengan kesungguhan hati, pasti semuanya akan terasa ringan, " ujarnya
Sementara Syatija Atuke, pemulung di TPA, mengatakan, meskipun sebagai seorang wanita, tetapi ia harus ikut bekerja, apalagi kebutuhan hidup semakin meningkat.
"Bagi saya sudah menjadi hal yang biasa seorang wanita itu bekerja mencari nafkah, tinggal bagaimana ia bisa bertahan dalam pekerjaan yang dilakukan. Saya bisa bertahan bekerja sebagai pemulung, karena saya berusaha selalu menikmati pekerjaan ini, sehingga semuanya terasa lebih ringan, " ujar ibunda Meilani
Wanita asal Gorontalo ini,
mengatakan, melalui sampah ia bisa menyekolahkan tujuh orang anaknya dan
kebutuhan hidup keluarganya juga bisa terpenuhi.
"Saya dan anak-anak
bisa bertahan hidup, hanya dengan berjualan sampah plastik, karena
apabila hanya berharap kepada suami, pasti tidak akan cukup, sehingga
meskipun sebagai pemulung, namun saya berusaha memberikan yang terbaik,
yang terpenting kebutuhan makan setiap hari itu bisa terpenuhi.
Kerinduan saya anak-anak bisa sekolah sampai perguruan tinggi, " ungkap
wanita kelahiran Gorontalo, 28 Mei 1965.
Syatija mengatakan, sebagai seorang wanita, ia dituntut untuk pintar dalam memilih pekerjaan. Baginya yang penting kebutuhan setiap hari bisa terpenuhi itu sudah cukup.
"Saat ini memang banyak wanita yang salah memilih pekerjaan, karena merasa kurang puas dengan pendapatan yang sedikit, sehingga mereka memilih untuk mendapat uang yang lebih banyak dengan mengorbankan harga diri mereka. Namun bagi saya harga diri lebih berharga dari semua harta yang ada, yang penting saya dan keluarga bisa makan, itu sudah lebih dari cukup, " ungkapnya.