Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Hardiknas 2019

Ki Hadjar Dewantara dan Filosofi Pendidikan Nasional, Refleksi Hardiknas dalam Pusaran Sejarah

Tanggal 2 Mei, almanak tahun 1889 lahir tokoh sentral ini, dengan nama kecil: Raden Mas Soewardi Soeryaningrat dan keturunan keraton Yogyakarta.

Istimewa
pendidikan 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Sama halnya dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Siapa sebenarnya tokoh dibalik Hardiknas di tanah air, terlepas dari penetapan yang secara administratif sudah dilakukan pemerintah.

Rekonstruksi sejarah senantiasa tunduk kepada hukum kepentingan. Siapa yang merekonstruksi, maka tentu ada kepentingan dibaliknya, berdasarkan latarbelakang kehidupannya, apalagi tokoh politik.

Perjalanan sejarah yang sudah baku mulai dahulu hingga saat ini, pahlawan yang memperjuangkan pendidikan nasional adalah Ki Hadjar Dewantara, sebagai tokoh sentral di balik Hari Pendidikan Nasional. Meskipun selain dan sebelum Ki Hadjar Dewantara, ada tokoh Muhammadiyah yang dibidani oleh Kiyai Haji Achmad Dahlan yang berjuang dan konsisten sejak awal untuk dunia pendidikan di tanah air.

Mari kita buka buku menarik, berjudul ”Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930”, sejarawan senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdurrachman Surjomihardjo, menyebutkan bahwa berdirinya organisasi Muhammadiyah yang bergerak di bidang pendidikan adalah pada 8 November tahun 1912. Berdirinya Muhammadiyah adalah wujud dari keprihatinan K.H. Achmad Dahlan terhadap maraknya berbagai lembaga sekolah. Ia kemudian mendirikan perguruan Muhammadiyah yang Islami.

Baca: Mengapa Nyamuk Suka Terbang di Sekitar Kepala Kita, Berikut Ini Penjelasannya

Ki Hadjar dan Filosofi Pendidikan Nasional
Tanggal 2 Mei, almanak tahun 1889 lahir tokoh sentral ini, dengan nama kecil: Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Lahir di Yogyakarta Hadiningrat, dan berasal dari keturunan keraton Yogyakarta.

Tokoh sentral yang menjadi ikon Pendidikan Nasional ini mengenyam pendidikan untuk kaum ningrat pribumi, dan melanjutkan ke sekolah Belanda bernama STOVIA atau Sekolah Dokter Bumiputera namun tidak sampai lulus. Ki Hadjar sakit dan tidak menyelesaikan pendidikan dokternya.

Dari perjalanan profesinya, mula mula bekerja sebagai wartawan di beberapa media cetak. Diantaranya, Surat Kabar Midden Java, Sedyotomo, Oetoesan Hindia, De Express, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Perpindahan ini berhubungan dengan kecenderungannya pada politik keredaksian yang dibangun semenjak awal yaitu bahwa ia tidak berkompromi dengan pemerintahan Belanda. Profesi ini dijalani hingga Indonesia merdeka, ketika ia berusia sekitar 55 tahun.

Keberadaan Ki Hadjar juga tidak terlepas dari Taman Siswa. Merunut sejarah, pada tanggal 3 Juli 1922, organisasi Taman Siswa didirikan karena adanya ketidakpuasan terhadap sistem Pendidikan yang ada di masa itu. Waktu itu tentu saja pemerintahan Belanda masih menguasai Indonesia dan sistem pendidikannya.

Pemerintahan Belanda tidak membebaskan semua rakyat Indonesia untuk bersekolah. Hanya anak bangsawan, konglomerat, dan kalangan keluarga kerajaan saja yang boleh bersekolah. Padahal, semua rakyat Indonesia sangat membutuhkan pendidikan agar bisa segera merdeka dan bebas dari penjajahan. Namun tentu saja upaya itu mendapat tantangan keras dari penjajah.

Taman Siswa didirikan untuk mengenalkan pendidikan kepada masyarakat Indonesia agar menjadi bangsa yang melek pendidikan dan bisa segera merdeka. Perguruan Taman Siswa berkembang hingga terbentuk Taman Indriya sebagai sekolah untuk Taman Kanak kanak dan Perguruan Tinggi Sarjanawiyata Taman Siswa.

Baca: Maia Estianty Blak-Blakan Soal Rencana Punya Anak dengan Irwan Mussry, Ini Katanya

Banyak sekolah ini yang sampai sekarang secara formal masih berdiri namun seolah mati suri karena kalah dengan pendidikan yang dikelola dengan berbagai fasilitas mutakhir. Ki Hadjar Dewantara termasuk pelopor atau pendirinya, bersama dengan teman temannya mengadakan pertemuan di halaman rumahnya. Halaman rumah itu kini menjadi pendopo Taman Siswa di Yogyakarta.

Ada tiga filosofi yang menjadi dasar dunia pendidikan hingga saat ini. Ketiganya yaitu, pertama; ing ngarso sung tulodo (di depan menjadi contoh) kedua; ing madyo mangun karso (di tengah memberi motivasi) dan ketiga, adalah “Tut Wuri Hadayani” yang memiliki arti “di Belakang Memberikan Dorongan”. Makna dari kalimat ini dijadikan motto dan slogan pendidikan serta menjadi landasan dalam rangka memajukan pendidikan di tanah air hingga saat ini.

Ki Hadjar Dewantara wafat pada usia 70 tahun, tepatnya pada tanggal 26 April 1959. Dengan jasa yang dinilai sedemikian besar beserta usaha kerja keras dan jasanya dalam rangka merintis pendidikan di tanah air dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Secara administratif penetapan ini didasarkan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 305 Tahun 1959, pada Tanggal 28 November 1959, dan hari kelahirannya ditetapkan dan dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional Indonesia.

Guru, yang Digugu dan Ditiru
Makna dibalik penetapan hari Pendidikan Nasional ini adalah sebuah motivasi agung untuk generasi bangsa Indonesia. Agar setiap insan Indonesia menempuh pendidikan dan mengenyam berbagai fasilitas yang ada untuk menempuh pendidikan setinggi tingginya. Mengutip pidato presiden Soekarno saat itu, dengan mottonya; “gantungkan cita citamu setinggi langit”.

Ilmu yang secara fisik saat itu dan juga sampai saat ini direfleksikan dengan membaca, difilosofikan dengan adagium bahwa ilmu, membaca, dan yang dibaca adalah buku merupakan jendela dunia. Dengan ilmu manusia bisa menguasai dunia dan mengalahkan diri sendiri. Dengan ilmu, manusia bisa meningkatkan kualitas diri dan mempunyai derajat yang lebih tinggi dalam kehidupan dunia fana ini.

Baca: Reino Barack Bongkar Alasan Putuskan Luna Maya: Urus Aja Hidup Lu, Saya Nggak Mau Tersangkut Hukum!

Sumber: Bangka Pos
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved