Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Greenhill: Leluhur Tidak Memandang Manguni Sebagai Burung Hantu

Burung Manguni atau bahasa latin Otus manadensis dalam kebudayaan Minahasa menempati tempat terhormat.

Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Siti Nurjanah
Istimewa
Greenhill Weol 

Laporan Wartawan Tribun Manado. Finneke Wolajan

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Burung Manguni atau bahasa latin Otus manadensis dalam kebudayaan Minahasa menempati tempat terhormat. Burung ini menjadi lambang berbagai lembaga seperti pemerintahan, organisasi, bahkan organisasi gereja, Gereja Masehi Injili di Minahasa.

Budayawan Sulawesi Utara, Greenhill Weol mengutip Prof DR WA Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi menuliskan, Burung Manguni telah hidup lama bergaul dengan alam. Oleh sebab itu lebih berhikmat dan lebih berpengalaman dalam interaksinya dengan alam ciptaan Tuhan.

Baca: Eksploitasi Burung Hantu di Sulawesi Utara, Vania Menyesal Sempat Berfoto dengan Mereka

Baca: FA Cup - Prediksi dan Link Live Streaming Wolverhampton vs Manchester United, Minggu 17 Maret 2019

Baca: BREAKING NEWS: Mandi di Pantai Kora-kora, Warga Terkejut Melihat Mayat

Manguni lebih peka bergaul dengan alam sekitar dan oleh sebab itu lebih terampil mengenal dan memahami alam. Dia lebih peka terhadap terganggunya perubahan iklim, gejala-gejala alam, lebih khusus bencana-bencana, seperti yang banyak terjadi saat ini.

Walaupun sebagian besar leluhur Minahasa belum mengecap pendidikan seperti manusia saat ini dan tidak mengetahui keterangan ilmiah Burung Manguni, para leluhur ini tidak memandangnya sebagai burung hantu.

"Para leluhur hidup bergaul erat dengan alam bersama segala yang hidup di dalamnya, termasuk Burung Manguni. Mereka belajar bergaul dan berupaya memahami bentuk-bentuk ungkapannya demi kelangsungan dan ketenteraman. Demi kerukunan hidup semua dan bersama," ujar budayawan sekaligus dosen di Universitas Kristen Indonesia Tomohon.

Para leluhur menganggap Burung Manguni adalah rekan hidup sehari-hari di alam ini. Dianggap teman yang akrab, bahkan ia dianggap sebagai pengantara manusia dengan Dia Yang Tinggi dan Mahakaya serta Yang Berkemurahan.

"Bagi para leluhur kita, Burung Manguni bukan burung hantu. Ia disayangi dan diberikan tempat khusus dalam hati leluhur kita, sekali lagi sebagai teman. Ialah pemberi isyarat atau kabar kepada mereka lewat bunyi atau nyanyiannya," ujarnya.

Jutaan simbol diperhadapkan kepada manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sadar atau tidak, simbol adalah sebuah sistem yang telah menjadi bangun ruang dari peradaban manusia, apapun suku dan bangsa, di manapun manusia berada.

Baca: Peluru Bersarang di Dada, Seniman Asal Padang Jadi Korban Penembakan Masjid di Selandia Baru

Baca: Taufik Tumbelaka: Bisa Jadi Senjata dalam Debat Pilpres

"Yang terutama adalah bahwa simbol membuat kita mengerti tentang sesuatu, sesuatu yang bermakna yang ingin disampaikan oleh mereka yang pertama kali menggunakan simbol itu," ujarnya

Di Minahasa hari ini, Burung Manguni digunakan sebagai lambang dari macam-macam organ, mulai dari lembaga keagamaan sampai organisasi militeristik. Seluruh dunia juga telah memahami strigiformes dengan berbagai pemahaman, sesuai dengan konteks masing-masing. Keberagaman ini sesungguhnya adalah kekayaan.

"Kita perlu belajar menemukan makna esensial dari setiap kata, kemudian untuk menerima bahwa orang lain punya hak untuk berbeda pemahaman dengan kita. Paling tidak sekarang saya juga mengerti bahwa Manguni tidak hanya nama mobil atau nama perusahaan, atau juga merek pengusir nyamuk," pungkasnya.

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved