Punya Manguni di Atas Meja, Penjelasan Mengejutkan Jimly Asshiddiqie Soal Sistem Sosial Minahasa
Tokoh Kawanua dipimpin oleh senior Markus Wauran dan Max Wilar bertandang di kantor mantan ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH
Penulis: | Editor:
TRIBUNMANADO.CO.ID-Sejumlah tokoh Kawanua dipimpin oleh senior Markus Wauran dan Max Wilar bertandang di kantor mantan ketua Mahkamah Konstitusi pertama di lantai 9 gedung Sarinah yang bersejarah itu di Jalan Thamrin Jakarta Pusat. Sebagai ahli tatanegara, Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH bercerita tentang rasa ingin tahu terkait sistem sosial masyarakat Minahasa.
"Sampai sekarang rasa ingin tahunya belum terjawab. Kami yang hadir pun belum bisa menjawabnya. Pertanyaan ini pernah disampaikan kepada dua rektor Unsrat tapi belum sempat dijawab. Makin membuat ahli tata negara ini penasaran dan mengusulkan supaya ada penelitian dan seminar khusus terkait itu," kata Stefi Rengkuan dari Kawanua Informal Meeting
Mengapa kepala kampung di Minahasa disebut Hukum Tua? Menurutnya Jimly penyebutan Hukum Tua bagi pimpinan di kampung Minahasa adalah sebuah kemajuan peradaban dalam sistem hukum modern. Bahwa ketaatan masyarakat bukan kepada individu tetapi kepada sistem.
Baca: Buku Solusi Jokowi Karya Tokoh Manado Ini Jadi Panduan Publik
"Tambah dia lagi terminologi kata 'hukum' itu adalah bahasa Arab tapi justru dipakai oleh masyarakat yg mayoritas Kristen. Bandingkan dengan penggunaan istilah Sangaji di Ternate dan Ayahanda di Gorontalo. Keduanya justru sangat feodalis padahal lingkungannya mayoritas Muslim," ujarnya.
Dari manakah asal istilah hukum tua atau disingkat 'kumtua' bagi kepala kampung itu dan mengapa bisa justru diadopsi oleh kaum di Minahasa? Pakar yang pernah menjadi ketua dewan kehormatan pemilu ini menegaskan bahwa paling menarik dan penting bukan soal etimologi dan konteks istilah itu saja, tetapi terutama filosofi kepemimpinan dan sistem hukum yang sangat egaliter demokratis sebagai sebuah pencapaian peradaban modern sudah dipraktikkan oleh masyarakat Minahasa.
"Tapi sayang mengapa nama hukum tua mulai diganti dengan kepala desa atau lurah yang merupakan politis penyeragaman," kata Markus Wauran, politikus senior yang dua kali duduk di Senayan.
Padahal di zaman dahulu katanya sebelum proklamasi kemerdekaan RI, misalnya merujuk pada tulisan sejarah tentang perang Tondano tahun 1800an sudah dipakai sebutan "Ukung" yang merujuk kepada pemimpin. Misalnya Ujung Tewu, Ukung Sarapung.
Baca: Tokoh Kawanua Jakarta Bicara Sulut Pasca Sarundajang
"Tapi menurut Jimly kata Ukung itu berasal dari kata hukum dalam bahasa Arab juga. Mungkin didapatkan masyarakat Minahasa dalam berinteraksi dengan kaum pedagang dari Arab atau merujuk pada penyebutan hukum mayoor yang diperkenalkan Belanda untuk mempersamakan pemimpin Minahasa dengan gelar militer, karena awalnya VOC itu sangat mengandalkan senjata dan strategi militer," ujarnya
Di sela-sela pertemuan, peserta turut mengagumi patung Manguni yang sedang menulis di atas buku.
"Beliau mendapatkannya dari komunitas Konghucu. Diartikan sebagai simbol keadilan.Beliau baru tahu setelah dijelaskan bahwa burung manguni adalah simbol masyarakat dan pemerintahan Minahasa. Pemberi tanda apa yang akan terjadi. Baik atau buruk," kata Stefi
"Yang pasti kedatangan kami adalah tanda baik untuk bapak. Buktinya kita berada di lantai 9 di kantor bapak. Dan bapak akan ber-HUTke-63 pas tanggal 17 April 2019 nanti saat orang berpesta demokrasi setara bagi semua orang dengan suaranya masing2. 6 + 3 sama dengan 9. Makasiow adalah angka 9 adalah angka baik dan sakral bagi orang Minahasa," Sambung Max Wilar saat itu. (dma)
Berita Populer: Bupati Minsel Kunjungi Rumah Duka Gladis Leong Wanita yang Hamil Sendirian Anak Kembar