Sulut Maju

Peserta BPJS Bingung Ada Sumbangan, Begini Kata Wagub Sulut

Tribun Manado/Ryo Noor
Wagub Sulut, Steven Kandouw saat dimintai keterangan oleh awak media 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bakal dikenakan biaya tambahan atau sumbangan (urun istilah dari BPJS) saat berobat. BPJS akan menerapkan aturan baru untuk Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) diperkokoh. Pelayanan BPJS kesehatan kini tak lagi sepenuhnya gratis.

Merujuk pada Peraturan Kementerian Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan. Konsekuensinya bagi pemegang BPJS Kesehatan yang bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI), tidak lagi gratis.

Wakil Gubernur Sulut, Steven Kandouw mengungkapkan, penerapan kebijakan ini tentu sudah melalui pertimbangan matang. Ia berpendapat wajar penerapan biaya urunan ini diberlakukan. BPJS terus berupaya menyempurnakan sistem. "Makin lama makin sempurna, meski tidak langsung sempurna," ujar Wagub kepada tribunmanado.co.id, Jumat (25/1/2019).
Ia mengatakan, pada penerapan nanti, sistemnya juga pasti akan lebih baik. "Di negara maju juga seperti itu," kata Wagub.

RSUP Prof Kandou Manado menjelaskan, bagi penerima iuran (PBI) dan KIS yang diserahkan oleh daerah itu tetap gratis. Direktur Medik dan Keperawatan RSUP Prof Kandou, Dokter Celestinus Eigya Munthe mengatakan, Permenkes 51 masih belum diberlakukan.

"Permenkes 51 itu masih belum diberlakukan karena masih ada kajian-kajian oleh Kementerian Kesehatan," ujarnya kepada tribunmanado.co.id, Jumat (25/1/2019).

Lanjutnya, RSUP Prof Kandou akan melakukan pelayanan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Saat ini belum ada aturan baru, masih menggunakan aturan yang lama. "Untuk sekarang belum ada kebijakan, kalau sosialisasi sementara dijalankan melalui media, jadi kami masih menjalankan aturan yang lama," ujar dia.

Kata Munthe, RSUP Kandou tetap mengutamakan pelayanan, untuk biaya merupakan hal kedua. "Kami mengutamakan pelayanan, untuk biaya hal kedua. Jadi kami lakukan tindakan dulu, berapa besar biaya dari tindakan itu baru kami pikirkan solusinya," ujar dia.

Terkait aturan itu, dia menjelaskan, kalau rumah sakit tipe C dan D dikenakan biaya Rp 10.000 dan tipe A dan B sebesar Rp 20.000.

Menurutnya, selama ini BPJS sangat membantu masyarakat kecil. Dia mencontohkan pasien yang cuci darah kalau tanpa BPJS harus membayar. "BPJS sangat membantu masyarakat. Coba masyarakat yang harus cuci darah, sekarang tinggal datang, tak ada yang masyarakat telantar, harga sekarang untuk sekali cuci darah 1.100.000, sekaya apapun orang pasti bangkrut," ujarnya.

Mercy, dosen di salah satu perguruan tinggi yang juga peserta BPJS Kesehatan, keberatan jika harus bayar lagi. "Tidak mau kalau harus bayar lagi," singkatnya.

Charles Talumingan, warga Malalayang, yang merasa keberatan jika dikenai biaya lagi. "Harusnya kalau sudah bayar (iuran) tidak perlu bayar lagi. Apa gunanya saya bayar," katanya.

Senada dikatakan Miranda Ovelita. Warga Mapanget Manado ini juga mengeluhkan jika dikenai biaya lagi. Ia mengkritik pelayanan BPJS. "Kenapa harus bayar lagi, jadi pasien umum saja. Sudah susah urus administrasi. Yang lalu saudara saya bantu urus sampai tiga kali baru dapat obat dari apotik," kata Miranda.

David Daroles, warga Mapanget, menyatakan rasa kebingungan atas dikemanakan biaya premi yang dibayarkan selama ini. "Kan sudah bayar premi, ke mana (uang) itu," ujarnya.
"Seharusnya kalau sudah bayar (premi) tak ada lagi pungutan biaya apapun. Ini harus dikaji kembali oleh pimpinan di Jakarta," kata David.

Belum lama ini, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan menerapkan aturan baru untuk Program Jaminan Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) diperkokoh. Pelayanan BPJS kesehatan kini tak lagi sepenuhnya gratis.

Hal ini merujuk pada aturan Peraturan Kementerian Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan. Dalam aturan tersebut disebutkan adanya aturan urunan.

Menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf ketentuan urun biaya tersebut diberlakukan bagi jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan dalam Program JKN-KIS.

“Saat ini urun biaya memang masih belum diberlakukan, karena masih dalam proses pembahasan jenis pelayanan apa saja yang akan dikenakan urun biaya. Tentu usulan itu harus disertai data dan analisis pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan," ungkap Iqbal dalam siaran persnya yang diterima VIVA beberapa waktu lalu.

Ia melanjutkan, bahwa Kementerian Kesehatan juga akan membentuk tim yang terdiri atas pengusul tersebut, serta akademisi dan pihak terkait lainnya, untuk melaksanakan kajian, uji publik, dan membuat rekomendasi.

Selain itu, tambah Iqbal, fasilitas kesehatan wajib menginformasikan jenis pelayanan yang dikenai urun biaya dan estimasi besarannya kepada peserta. Ke depan, peserta atau keluarganya harus memberikan persetujuan kesediaan membayar urun biaya sebelum mendapatkan pelayanan. Aturan besaran urun biaya tersebut berbeda antara rawat jalan dengan rawat inap.

“Nantinya untuk rawat jalan, besarannya Rp 20.000 untuk setiap kali kunjungan rawat jalan di RS kelas A dan RS kelas B, Rp10.000 untuk setiap kali kunjungan rawat jalan di RS kelas C, RS kelas D, dan klinik utama, serta paling tinggi Rp350.000 untuk paling banyak 20 kali kunjungan dalam waktu 3 bulan," kata Iqbal.

Ia kembali menegaskan, bahwa nominal ini terbilang kecil daripada total biaya pelayanan yang diperoleh peserta.

Sedangkan untuk rawat inap, besaran urun biayanya adalah 10 persen dari biaya pelayanan, dihitung dari total tarif INA CBG’s setiap kali melakukan rawat inap, atau paling tinggi Rp30 juta.

Selanjutnya, BPJS Kesehatan akan membayar klaim RS dikurangi besaran urun biaya tersebut. Urun biaya dibayarkan oleh peserta kepada fasilitas kesehatan setelah pelayanan kesehatan diberikan.

“Ketentuan urun biaya ini tidak berlaku bagi peserta JKN-KIS dari segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah,” tegas Iqbal.

Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (9/11/2018).
Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (9/11/2018). (TRIBUNNEWS/SYAHRIZAL SIDIK)

Selamatkan BPJS Kesehatan

Permenkes merupakan salah satu cara menyelamatkan keuangan BPJS Kesehatan yang defisit. BPJS perlu mendapat dukungan agar tetap bisa menjalankan manajemen tata kelola JKN-KIS untuk seluruh masyarakat.
"Kita lihat antara biaya pengobatan dari 1.900-an rumah sakit dengan jumlah uang yang masuk ke BPJS, masih ada defisit. Maka kita lakukan langkah untuk menyeimbangkan," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, belum lama ini.

Sebelumnya muncul dilema, BPJS Kesehatan terus mengalami defisit sehingga harus menekan pengeluaran. Namun, di sisi lain, pelayanan kesehatan tidak mungkin berhenti. Rumah sakit akan mogok jika dana klaim tidak dibayarkan yang berimbas pada pelayanan ke masyarakat.

Saat ini ada sekitar 98 juta peserta termasuk dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI). Oleh karena itu, kepesertaan non-PBI juga harus didongkrak.
"Di satu sisi di masyarakat akan tetap terjaga, masyarakat dapat jaminan kesehatan seperti yang diharapkan. Namun, biayanya bisa sustain," kata Sri Mulyani.

Pemerintah sebelumnya telah menyuntik dana bantuan tahap pertama sebesar Rp 4,9 triliun pada September 2018. Kemudian, pada akhir 2018 lalu, pemerintah kembali mencairkan dana Rp 5,2 triliun untuk BPJS Kesehatan. Namun, ternyata jumlahnya masih tak cukup tutupi defisit karena nilai tunggakan yang terus meningkat. Di samping itu, pemerintah juga masih menunggu hasil audit BPKP mengenai keseluruhan tagihan ke BPJS Kesehatan.

Berbagai kebijakan juga telah ditempuh hingga melibatkan pemerintah daerah untuk sumbangan. Sri Mulyani menambahkan, dalam program JKN-KIS, banyak kepentingan yang harus diperhatikan. Selain kepentingan masyarakat mendapat hak akses kesehatan, juga kepentingan rumah sakit yang harus tetap jalan. Rumah sakit juga berkaitan dengan profesi dokter dan paramedis serta industri farmasi untuk obat-obatan.

Di sisi lain, keuangan negara juga perlu diperhatikan karena bukan hanya BPJS Kesehatan yang butuh dana. "Semua harus dijaga keseimbangan dan pemerintah tetap menggunakan instrumen APBN untuk mendukung progam kesehatan karena hak asasi penting bagi masyarakat," kata Sri.

Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief membantah bahwa penerapan urun biaya dan selisih biaya merupakan solusi menekan defisit keuangan BPJS. Budi mengatakan, tujuan utama pemerintah menerapkan urun biaya yakni mengedukasi masyarakat untuk menggunakan pelayanan kesehatan seperlunya saja. Jika sakitnya tidak parah, semisal batuk atau pilek, tidak perlu ke dokter untuk pemeriksaan dan meminta obat.

"Kalau dulu sebelum ada program JKN, kalau pusing-pusing, cukup berobat di rumah. Kita harap demikian," kata Budi. Selama ini, banyak temuan di lapangan bahwa banyak peserta JKN-KIS yang menggunakan layanan kesehatan yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan. Hal ini yang membuat klaim rumah sakit membengkak. Oleh karena itu, urun biaya dikenakan ke peserta yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan atas keinginan sendiri, di luar rekomendasi dokter maupun rumah sakit. Misalnya, orang tersebut meminta layanan kesehatan yang tak begitu penting diterapkan pada sakit yang dialaminya.

Jika ingin mendapatkan layanan tersebut, peserta bisa tetap mendapatkannya dengan membayar sendiri biayanya. Namun, Budi menyebut bahwa Kemenkes belum menentukan secara rinci jenis layanan apa saja yang termasuk dalam urun biaya. Budi menekankan bahwa ketentuan urun biaya ini tidak berlaku bagi peserta JKN-KIS dari segmen PBI dan penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah.

Sementara itu, untuk selisih biaya, diterapkan kepada peserta yang mau ada kenaikan pelayanan kesehatan lebih tinggi dari haknya. Misalnya, peserta kelas perawatan 3 ingin dirawat di kelas perawatan di atasnya. Permenkes tersebut tidak melarang peningkatan hak kelas rawat di rumah sakit. Namun, ada konsekuensi pembayaran selisih biaya yang harus ditanggung oleh peserta JKN-KIS yang bersangkutan. “Peningkatan kelas perawatan tersebut hanya dapat dilakukan satu tingkat lebih tinggi dari kelas yang menjadi hak kelas peserta," kata Budi.

Untuk peningkatan kelas rawat inap dari kelas 3 ke kelas 2, dan dari kelas 2 ke kelas 1, maka peserta harus membayar selisih biaya antara tarif INA CBG's antarkelas. Sementara untuk peningkatan kelas rawat inap dari kelas 1 ke kelas di atasnya, seperti VIP, maka peserta harus membayar selisih biaya paling banyak 75 persen dari tarif INA CBG's kelas 1. Sedangkan untuk rawat jalan, peserta harus membayar biaya paket pelayanan rawat jalan eksekutif paling banyak Rp 400.000 untuk setiap episode rawat jalan. (Tribun/kps/ryo/ddm/vvc)